HUMBAHAS – Humbang Hasundutan rupanya serius dalam hal kebudayaan. Tahun lalu, dua TACB (tim ahli cagar budaya) sudah dikirim untuk ikut belajar dan diuji kompetensinya.
Tahun ini, ditambah 5 orang. Total sudah 7 orang. Sesuai aturan, setiap daerah punya 5 TACB. Artinya, Humbang akan segera punya 7 orang TACB jikalau lulus.
Ya, kalau lulus. Karena memang, ada berbagai tahapan ujian. Dimulai dengan pemaparan dari panitia. Disambung lagi dari asesor. Ada ujian tertulis. Dua jam ujian tertulisnya. Setelah itu, disambung lagi ujian wawancara. Wawancara langsung dengan asesor. Tatap muka berdua hampir sejam. Belum selesai. Masih dilanjut lagi.
Belum selesai juga. Para asesor rupanya harus bersidang lagi. Pengumuman masih menunggu. Butuh waktu sekitar 10 hari. Artinya, ini tidak main-main. Mereka harus jeli. Maksudnya, belum tentu kami lulus. Ada rasa degdegan saat ujian. Asesornya bertanya banyak hal. Terkadang jadi bercerita. Dari bercerita itu, ia membongkar hal penting lainnya.
Itu yang saya alami. Saya tak melampirkan data pengalaman arkeologis. Juga data tulisan kebudayaan di majalah BPNB Aceh. Juga film animasi cagar budaya kemenyan dari Humbang. Tetapi, asesor membongkarnya. Lalu, saya bercerita tentang itu. Cukup lama. Rupanya, itu seperti pelarut untuk menguji. Asesor bertanya lagi.
Ada pertanyaan yang tak bisa saya jawab. Rupanya, teman lain pun ada juga yang begitu. Maksudnya, ya, ini ujian bukan main-main. Ini tentang passion. Tentang kesungguhan. Persis seperti kesungguhan setiap peserta. TACB dari Pemkab Humbang memang serius. Semua terlihat gelisah. Ada yang sampai tak bisa tidur malam.
Ada yang tak duduk tenang. Gelisah tak menentu. Sebentar ke sana. Sebentar ke mari. Keluar hotel. Pergi ke lobby. Merokok lalu membaca lagi. Akhirnya, kami bercerita lagi. Tentang objek terduga cagar budaya di Humbang. Ada Sisingamangaraja. Ada juga yang lain. Termasuk Seribu Gua di Pakkat. Kami banyak membahas apa saja.
Mencari koneksi di antara cerita itu. Ada saja banyak kemungkinan. Tentang peluang Parlilitan dan sekitarnya sebagai pusat perdagangan dan perlawanan Raja Sisingamangaraja. Tentang kemungkinan gua-gua yang banyak di daerah Pakkat dan Parlilitan sebagai basis peradaban dan perlawanan. Apalagi ada banyak ditemukan belulang.
Konon, ada juga pedang ditemukan dari pematang. Konon pula, gua di sana tak semuanya yang alami. Ada beberapa yang buatan. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Jujur, saya belum pernah ke sana. Pengen juga ke sana. Merasakan auranya, melihat dengan mata, juga mungkin dengan yang lain. Ini bukan tentang mitos, apalagi mistis.
Tak semua dipandang melulu dengan mitos dan mistis. Masih ada saluran lain. Inilah peran imajinasi. Intuisi. Bahkan, ilham. Ini seperti kisah kenabian. Kisah kenabian bukanlah karya jurnalistik. Bukan pula kisah mitologi. Di sana, ada pendekatan di luar logika dan mistis. Itulah intuisi. Itulah ilham. Setingkat di atasnya, itulah wahyu.
Pendekatan seperti ini kadang harus dipertimbangkan. Setidaknya sebagai cerita pengayaan. Bukan untuk diterima sebagai kebenaran. Tapi cukup sebatas referensi. Kebenaran hanya akan sah setelah referensi. Pada akhirnya, saya bahagia dan bangga ikut belajar. TACB dari Humbang lainnya pun terlihat begitu.
Chandra Mahulae, misalnya, bersyukur bisa dipercaya dan diutus. Ia kini berharap semoga ada Museum Habatakon di Humbang. Konsepnya mengembangkan museum di Balige. Begitu juga dengan Dongan Manurung. Ahli sastra Batak ini antusias. Ia sudah ingin mengimplementasikan pengetahuan yang dipelajari untuk mengidentifikasi objek terduga cagar budaya.
Serupa dengan Victor Herman Silaen asal Parlilitan. Baginya, ini adalah langkah besar yang dilakukan Pemkab Humbang untuk menjaga cagar budaya. Ini adalah modal kuat untuk memetakan potensi budaya Humbang. Ya, Humbang memang cukup potensial. Sejarahnya bisa jadi sebagai master piece sejarah Batak seluruhnya.
TACB lainnya adalah Dame Tudiru Samosir. Ia pun sangat mengapresiasi kesungguhan Pemkab Humbahas untuk mengirimkan TACB. “Terima kasih pada Pemkab Humbang karena mengirimkan TACB sampai 7 orang. Semoga lulus dan langsung bisa bekerja di bawah bimbingan pemerintah,” tuturnya. Pendamping kami, Harapan Sibarani, pun sangat atraktif.
Ia selalu membersamai kami. Mengingatkan materi. Menguatkan supaya tak perlu terlalu gelisah. Utamakan kesehatan dan rasa syukur, begitu selalu diakhiri saat pendampingan. “Semoga lulus sehingga nanti bisa kerja untuk identifikasi kajian n rekomendasi warisan budaya di jadi cagar budaya,” pungkasnya. Melihat mereka antusias, sudah pasti juga dengan saya.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang