LEGENDA PARA DEWA BATAK TOBA (5)

Pelarian Si Boru Deak Parujar dari Perjodohan

NINNA.ID – Keadaan hari-hari belakangan ini sungguh berbeda. Kesedihan mendalam, kemarahan, kejengkelan dan rasa hambar telah membaur menjadi satu dalam diri Si Boru Deak Parujar. Pilu dan tangisan dengan deraian air mata, pikirannya suntuk dan kehilangan keseimbangan. Bermuram durja, itulah keseharian Si Deak saat ini.

Dia mengingat dan nemikirkan keinginan orang tuanya dan diapun sebenarnya tidak berkeberatan dengan keinginan itu. Tapi masalahnya sekarang, Si Deak dihadapkan pada sebuah dilema yang sulit. Ah…yale da bagian lapa-lapa. (Gerutu dalam istilah Batak)

Lebih baiklah aku mati daripada harus menerima Siraja Odap Odap menjadi suamiku. Lantas bagaimana caranya agar bisa keluar dari dilema ini?

Ya…Beberapa saat kemudian ada semacam bisikan ke dalam pikiran Si Deak bagaimana dia bersikap dan berbicara, tapi itu nanti.

Sementara itu ayah Si Deak, yakni Batara Guru dari hari ke hari kelihatan selalu ceria diliputi rasa senang dan bahagia. Batara Guru tidak tahu kalau putrinya Si Boru Deak Parujar saat ini sedang meradang.

Berhubung hari pernikahan putrinya Si Deak sudah semakin dekat, Batara Guru dan istrinya sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pesta itu nanti. Batara Guru malah sudah mempersiapkan juga kata-kata yang akan diucapkan nanti, yaitu kata-kata berkat kepada putrinya dan Siraja Odap Odap.

“Dakka ni arirang ma peak di topi dalan, badanmu ma naso sirang borukku dohot ho hela, tondimu pe hot ma marsigomgoman.”

“Tubuan laklak, tubuan Sikkoru di dolok ni purba tua, tubuan anak ma hamu jala tubuan boru,  donganmu saur matua.”

“Andor hadukka togu-togu ni lombu, andor hatiti togu-togu ni horbo, saur matua ma hamu patogu-togu pahompu, sahat tu na marnini sahat tu na marnono.”

Bait-bait kalimat bermakna untuk memberkati Si Boru Deak Parujar dengan Siraja Odap Odap yang disiapkan Batara Guru itu memliki arti kelanggengan sebuah rumah tangga.

“Biarlah Si Boru Deak Parujar dan Siraja Odap Odap panjang umur, menjadi orang yang kaya, banyak keturunan dan memiliki kehormatan.”

BERSPONSOR

Namun apa yang terjadi sesungguhnya? Batara Guru tidak tahu kalau putrinya Si Boru Deak Parujar kini sedang meradang. Batara Guru merasa sudah waktunya perlu berbicara kembali dengan putrinya Si Deak. Ketika Si Deak sudah selesai bertenun, ayahnya memanggilnya. Berbicaralah Batara Guru.

“Deak! Kamu sudah seharusnya berbenah-benah dan mulai mempersiapkan diri, sebab kamu tahu waktu terus berjalan. Pesta pernikahanmu, walaupun belum ditentukan tanggalnya, tapi itu tidak lama lagi.”

Si Deak mendengar dengan baik kata-kata ayahnya, tapi hatinya hambar dan merasa jijik. Dia tidak ingin berjodoh dengan Siraja Odap Odap yang rupanya seperti illik (kadal). Tetapi untuk tidak membantah orang tuanya, Si Deak selalu halus memberi alasan atau berdalih kepada ayahnya. Maksudnya tiada lain adalah untuk menunda-nunda, bahkan ingin agar rencana pernikahan dibatalkan. Si Deak berkata kepada ayahnya Batara Guru.

TERKAIT  Pagar Ni Huta

“Pak! Aku bersedia menikah dengan Siraja Odap Odap kalau ulos tenunanku sudah selesai kukerjakan.”

- Advertisement -

Batara Guru dapat memaklumi permintaan putrinya itu. Tetapi setelah menunggu dalam penantian dan sudah sekian lama berlalu, Si Deak tak kunjung dapat menyelesaikan ulos tenunannya itu. Mengapa tidak selesai?

Memang ketika siang hari Si Deak kelihatan tekun bertenun, namun pada malam harinya benang-benang tenunannya ditanggali (diharhari), begitu terus-menerus sehingga tidak pernah selesai. Pada akhirnya Batara Guru tahu juga perbuatan putrinya dan menjadi murka. Betul-betul sangat marah kepada Si Deak.

Batara Guru dengan amarah dan nada tinggi mengultimatum dan memaksa putrinya harus menikah dengan Sraja Odap Odap.

Daripada harus menikah dengan Siraja Odap Odap yang wajahnya seperti kadal, Si Deak bertekad, lebih baiklah meloncat menerjunkan diri dari alam kayangan, meskipun resikonya sangat berbahaya, bahkan bisa berujung pada kematian.

Saat tekadnya sudah bulat, lalu dia melemparkan gulungan benang tenunannya ke bawah setelah ujung benangnya diikatkan pada sebatang besi yang ditancapkan. Dengan berpegangan pada tali benang yang sangat panjang tersebut, turunlah Si Deak hingga melayang-layang jauh di atas permukaan samudra luas (lung na bagas) yang disebut Benua Bawah (Banua Toru).

Dengan mengandalkan pegangan pada tali benang tenunannya, Si Deak mengalami kesulitan dan merasa lelah. Dia terayun-ayun, melayang-layang, menggantung diterpa angin yang sangat kencang di atas permukaan samudra. Dengan perasaan sedih dan menangis, Si Boru Deak Parujar terpaksa meminta pertolongan melalui seekor burung yang dinamai “Leang-Leang Mandi Suntung Untung Nabolon. Na tinggil manangi-nangi Suruan Ni Mulajadi Nabolon ( Burung Layang-Layang Mandi makhluk suruhan Pencipta Maha besar).

Pekerjaan Leang-Leang Mandi adalah menerima dan menyampaikan pesan Mulajadi Nabolon (Pencipta Maha Besar). Demikianlah Si Deak memohon melalui Leang-Leang Mandi, kiranya Mulajadi Nabolon berkenan memberikan segenggam tanah untuk ditempanya sebagai tempat berpijak.

Mulajadi Nabolon berkenan memberikan segenggam tanah kepada Si Deak dengan pesan; agar Si Deak kembali pulang ke alam kayangan (Banua Ginjang), sebab ayahnya Batara Guru sudah rindu dan menanti-nantikan kepulangannya. Namun tekad Si Deak sudah bulat, tidak ingin kembali lagi ke alam kayangan dan tidak ingin berjumpa dengan Siraja Odap Odap yang rupanya seperti kadal.

Ditempanyalah tanah yang segenggam itu, lama-lama semakin lebar, semakin besar dan luas, maka terciptalah daratan Bumi (Banua Tonga).

 

Penulis : Roy M Siboro (warga Bekasi)
Editor    : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU