Payung Hukum untuk Pelaku Wisata Lokal Urgensi yang Tak Bisa Ditunda Lagi

NINNA.ID-Di tengah semangat menjadikan Danau Toba sebagai destinasi super prioritas nasional, ada satu ironi yang tidak boleh terus dibiarkan: pelaku wisata lokal di daerah seperti Samosir masih berada di pinggiran sistem.

Mereka bekerja tanpa perlindungan, tanpa ruang yang setara, dan sering kali—tanpa pengakuan.

Komunitas pemandu wisata lokal, seperti yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Samosir, adalah contoh nyata.

Mereka memiliki pengetahuan budaya yang otentik, kedekatan emosional dengan tanah kelahiran, dan semangat tinggi untuk berkontribusi dalam pengembangan pariwisata.

Tapi apadaya, dominasi agen perjalanan dari luar daerah membuat mereka hanya jadi penonton di rumah sendiri.

HPI SAMOSIR
Foto bersama para anggota HPI Samosir bersama Kepala Dinas Pariwisata Samosir Tetti Naibaho usai Rapat Triwulan HPI Samosir di Ruma Genteng Kampung Ulos Hutaraja Selasa 21 Mei 2024.

Saatnya Negara Hadir

Ketimpangan ini bukan semata urusan ekonomi. Ini adalah kegagalan sistemik dalam memastikan keadilan bagi pelaku lokal.

Ketika travel agent dari luar bisa menguasai alur wisata tanpa kewajiban melibatkan SDM lokal, maka pemerintah daerah harus turun tangan. Dalam hal ini, peran regulasi menjadi sangat krusial.

BERSPONSOR

Samosir—dan daerah wisata lain di Indonesia—butuh payung hukum yang jelas dan berpihak pada pemberdayaan lokal. Misalnya, Peraturan Daerah (Perda) atau minimal surat edaran resmi yang mewajibkan kolaborasi antara travel agent luar dengan komunitas lokal dalam kegiatan guiding dan tour leading.

Ini bukan bentuk proteksionisme berlebihan, melainkan langkah afirmatif untuk keadilan sosial dan keberlanjutan pariwisata.

Tanpa Kebijakan, Ketimpangan Akan Terus Mengakar

Tanpa dasar hukum yang kuat, komunitas lokal akan terus kalah dalam persaingan tak sehat. Mereka tidak punya akses pasar, tidak punya posisi tawar, bahkan tidak punya jaminan ketika mereka mengangkat cerita budaya mereka sendiri.

- Advertisement -
TERKAIT  Mengapa Bahasa Batak akan Segera Punah?

Lebih jauh lagi, ketimpangan ini juga merugikan wisatawan. Mereka kehilangan pengalaman otentik yang hanya bisa diberikan oleh warga lokal. Wisata menjadi sekadar perjalanan fisik, bukan pengalaman batin yang bermakna.

Rekomendasi Nyata

  1. Perda/Surat Edaran Kerja Sama Pariwisata Lokal – Pemerintah kabupaten perlu segera membuat regulasi yang mewajibkan pelibatan pemandu lokal dalam setiap kegiatan wisata yang beroperasi di wilayahnya.
  2. Insentif dan Sertifikasi SDM Lokal – Dinas terkait bisa mendorong pelatihan resmi dan memberi insentif kepada travel agent yang menggandeng SDM lokal tersertifikasi.
  3. Kemitraan Strategis – Kampus, komunitas, dan pelaku usaha lokal bisa dilibatkan dalam ekosistem pelatihan dan promosi pariwisata yang lebih adil.

Menumbuhkan Pariwisata yang Berkeadilan

Pembangunan pariwisata yang berpihak bukan hanya soal infrastruktur dan promosi besar-besaran. Ia harus dimulai dari akar rumput—dengan menghargai pelaku lokal sebagai subjek utama, bukan sekadar pelengkap.

Memberi mereka ruang, perlindungan hukum, dan kepercayaan adalah investasi sosial yang akan kembali dalam bentuk pariwisata yang berkelanjutan, inklusif, dan bermartabat.

Sudah saatnya kita bertanya: siapa yang paling berhak membimbing wisatawan menjelajahi Tanah Batak—kalau bukan orang Batak sendiri?

Penulis/Editor: Damayanti Sinaga

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU