NINNA.ID – Sebelum penjajahan Belanda masuk ke tanah Batak kira-kira 350 tahun yang lalu, sosial masyarakat Batak Toba sudah mengenal musyawarah. Para pengetua sebagai perwakilan dari beberapa daerah atau dusun bersama Raja Bius dari beberapa daerah berperan sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Mereka biasanya akan duduk bersama di partungkoan untuk membahas segala sesuatu yang terjadi pada masyarakat mereka.
Partungkoan ini adalah salah satu tempat yang terbuat dari pagar batu yang luasnya sekitar 6×8 meter, dan di sekeliling tempat itu biasanya akan diatur beberapa batu berpermukaan datar sebagai tempat duduk para pengetua adat tersebut.
Mereka akan duduk bersama di sana untuk membicarakan semua hal, mulai dari tatanan adat, bidang pertaniam dan hal-hal yang berkembang yang terjadi di daerah itu. Kemudian mereka menyepakati sebuah aturan dan peraturan di wilayah hukum mereka, dan itulah yang disebut dengan Uhum (hukum).
Dari uhum yang telah tercipta tadi, apabila ada masyarakat, misalnya yang melanggar uhum seperti mencuri, mangalakkup (mengambil istri orang lain), maka para pengetua dan Raja Bius akan segera bermusyawarah untuk menjatuhkan hukuman kepada oknum yang melanggar uhum tadi.
Dari proses tersebut akan disepakati dengan istilah, “Diduda namarlikkit, Ditutung Namarimbulu (akan dimasak beras dan dipotong seekor ternak) sebagai denda untuk orang yang melakukan pelanggaran tersebut.
Ada juga misalnya, jika seseorang yang melakukan hubungan sedarah (incest) sesama marganya maka kan dijatuhi hukuman dengan istilah,
“Tu Hau Sitabaon, Tu Aek Siarsagon, Tu Ramba Situtungon”.
Maknanya, tidak ada tempat untuk orang yang melakukan hal seperti itu. Lebih baik dia pindah dari kampung itu untuk menghindari hal–hal yang tidak baik di kemudian hari menimpa kampung tempanya tinggal. Hukuman itu berlaku bagi kedua insan yang melakukan perbuatan hina itu, tidak boleh hanya sepihak.
Akibatnya, ketika bertemu dengan seseorang di perantauan, mereka tidak lagi mengetahui silsilahnya dan Bona Pasogit (asal usul) mereka. Bagi kebiasaan suku Batak, hal ini merupakan salah satu hal yang tidak boleh terjadi, karena silsilah marga dan Bona Pasogit merupakan hal dasar yang harus dipunyai, dimengerti dan dikuasai oleh seorang suku Batak.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang