NINNA.ID – Jauh sebelum Masyarakat suku Batak mengenal agama, zaman dulu masyarakat sangat tergantung dengan hal–hal yang berbau supranatural atau gaib. Menurut penuturan para orangtua terdahulu setiap orang itu harus punya “pegangan” atau pertahanan tubuh untuk menyangkal penyakit atau “utiutian“ atau cobaan-cobaan orang lain yang menggunakan ilmu hitam.
Dan memang seperti itulah zamannya dulu. Masyarakat kala itu berlomba-lomba ingin mendapatkan pengetahuan untuk merusak kesehatan orang dengan berguru ke dukun-dukun sakti yang diyakini mampu melakukan hal mistis itu.
Ilmu itu dapat berupa Aji turtur, gadam dan racun. Hingga di zaman sekarang pun tanpa bermaksud menuduh atau memojokkan secara sepihak, ilmu-ilmu hitam tersebut masih ada ditemukan di beberapa daerah yang ada di Tapanuli. Memang agak susah dibuktikan, tapi itu terjadi dan kadang kala masih dapat kita rasakan hingga sekarang.
Kala itu memang, para kaula muda tidak akan pernah berani keluar dari kampungnya tanpa memiliki ilmu penyangkal atau ilmu kekebalan sebagai pertahanan batin. Ya memang demikianlah masanya pada waktu itu. Tidak pandang bulu, baik tua ataupun muda, atau bahkan pejabat maupun orang biasa. Jika kita pergi bertandang ke kampung orang, biasanya kita harus dicobai di sana sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Beruntunglah di masa kependuddukan Belanda di tanah Batak sekitar tahun 1800-an para missionaris pun tiba di tanah Batak untuk memperkenalkan ajaran Kristen. Kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk tadi berangsur hilang dan ditinggalkan masyarakat. Apalagi, untuk mempelajari ilmu hitam itu memang sangat susah. Diyakini acap kali harus memakan tumbal jiwa orang yang mempelajarinya karena sudah bersekutu dengan setan.
Menurut cerita para orangtua terdahulu, pernah terjadi seseorang menderita penyakit yang sangat kronis. Sudah dibawa ke berbagai rumah sakit yang cukup bagus untuk mengobatinya, namun sakit tersebut tidak kunjung sembuh, bahkan makin parah. Dicobalah untuk berobat ke jalur alternative dengan bertanya ke Datu.
Menurut Datu, penyakit yang dideritanya adalah santet yang telah dikirim seseorang. Setelah diterawang dan ditelusuri oleh sang Datu, maka disimpulkan agar orang tersebut membuat padao parsili di sebuah persimpangan jalan.
Biasanya orang yang akan melakukan padao parsili tersebut akan disarankan oleh tuan Datu untuk membuat sesajen berupa itak warna putih, itak warna hitam dan itak warna kuning yang akan di etakkan di sebuah persimpangan jalan beralaskan daun pisang.
Dan akhirnya para Datu pun akan martonggo (berdoa) dengan untaian kata kata demikian, “Balanja horung horung na, molo adong baen baen na mulak mai turungkung na”.
Dan memang karena penyakitnya adalah mistis yang dilawan dengan mistis pula, maka dengan sendirinya penyakit tersebut pun berangsur-angsur sembuh dan pulih kembali.
Gambaran kisah ini sebenarnya hanya sebagian kecil perjalanan kehidupan masyarakat suku Batak pada zaman dahulu. Banyak hal sebenarnya yang masih misteri dan menarik untuk dikaji dan dituliskan untuk menjadi pengingat buat generasi mendatang.
Untuk mencapai kondisi kehidupan sosial masyarakat Suku Batak khususnya yang tinggal di Tapanuli, membutuhkan jalan yang amat panjang. Banyak kisah dan perjuangan yang tidak ternilai harganya.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang