NINNA.ID – Sebelum dimulai, saya ingin membuat statemen awal: pasti banyak orang mengomentari tulisan ini tanpa membaca. Saya sudah berpengalaman dengan tulisan sebelumnya: Batak Dalle dan Batak Asli. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa saya sedang ingin mengatakan bahwa muslim adalah Dalle.
Padahal, andai dibaca secara lebih lengkap dan tidak sepotong-sepotong, mereka akan tahu bahwa saya justru sedang mendestigmatisasi Dalle pada Batak-Muslim. Terutama karena dari mereka masih banyak yang khatam dan mempraktikkan tradisi Batak. Tidak hanya mempraktikkan, bahkan sangat bangga dan penuh persaudaraan.
Banyak komentar yang aneh. Biasanya memang begitu. Rakyat kita sering berkomentar tanpa membaca. Literasi kita memang rapuh sekali. Jika diberikan tulisan dengan judul sederhana dan mendalam, pembaca tidak akan terpantik. Jika dibuat tulisan ringan dengan judul menantang, mereka akan mengomentari tanpa membaca.
Dan, saya yakin, tulisan ini juga akan demikian. Walau begitu, mari dimulai. Langsung saja dari statemen pemantik: sebagai nama, parmalim bukan agama asli Batak. Catat sekali lagi, sebagai nama. Atau, dalam bahasa ilmiah: sebagai nomenklatur. Banyak alasan untuk dijejerkan. Alasan paling masuk akal: Malim bukan bahasa Batak.
Nah, jika Malim bukan bahasa Batak, lantas bagaimana mungkin agama asli Batak menggunakan kata Malim yang bukan dari bahasa Batak? Aneh bukan? Siapa pun tahu, akar kata Malim ini lebih dekat ke kebudayaan Islam.
Bahwa pada akhirnya Malim diterima sebagai bahasa Batak, itu hanya bagian dari adopsi bahasa.
Artinya, secara umur, Malim lebih dahulu ada daripada Batak itu sendiri. Dan, inilah yang menjadi misteri bagi kita: bagaimana kata parmalim diterima sebagai nama untuk agama asli Batak? Karena bagaimanapun, parmalim pasti gabungan dua Morfem: par dan Malim. Dari bahasa ini kita bisa membuat kesimpulan logis: pernah kebudayaan Batak sangat dekat dengan Islam.
Barangkali dulu nama agama asli kita bukan parmalim. Namun, ketika kebudayaan Islam telah mengakar di Barus sebagai titik nol Islam Nusantara, barangkali ada asimilasi bahasa.
Dan, kebetulan mungkin kata Malim lebih penuh dan utuh untuk mendefinisikan agama asli tersebut. Bagaimana pun, asimiliasi bahasa adalah sesuatu yang sangat wajar pada kebudayaan yang bersisian.
Kita bisa menggunakan teori cocoklogi. Teori demikian tidak selalu benar. Arti tidak selalu benar berarti juga tidak selalu salah. Maksudnya, kita tak boleh melulu berpikiran buruk pada teori cocoklogi.
Jadi begini. Bona pasogit konon adalah bahasa yang dekat dengan kebudayaan Islam. Pasogit diartikan masogit. Masogit dihubungkan lebih jauh: masjid.
Lumayan masuk akal. Karena Barus saat itu menjadi pusat perdagangan dan persebaran agama Islam. Secara geografis, Barus sangat dekat dengan Batak. Bahkan, Barus itu masuk sebagai daerah Tanah Batak.
Malah lagi, kebudayaan Barus jauh lebih tua dari kebudayaan Batak sehingga sangat mungkin Batak mewarisi bahasa kebudayaan dari Barus.
Bukti kecil, mantra Batak juga ada yang menggunakan bahasa yang dekat dengan kebudayaan Islam. Artinya, kita tidak boleh menolak fakta bahwa parmalim adalah bahasa impor dari kebudayaan Islam yang kemudian kita buat menjadi nama baptis untuk agama asli Batak. Adalah logika bahwa, kebudayaan yang bersisian saling memengaruhi, juga saling dipengaruhi.
Percaya atau tidak, sebagaimana kata “selam” di Bali, istilah “parsolam” bagi mereka yang tak memakan daging babi di Tanah Batak adalah juga bahasa serapan dari kebudayaan Islam. Sangat mungkin kata “parsolam” (par dan solam) adalah adaptasi bahasa dari parislam (par dan Islam). Setipe dengan itu, parmalim sangat mungkin sebagai gabungan kata dari par dan Mualim.
Siapa pun ahli bahasanya, mereka pasti tak bisa membantah bahwa kata parmalim bukan bahasa asli Batak. Itu adalah bahasa impor yang justru digunakan sebagai nama baptis agama asli orang Batak. Arti agama asli tidak perlu diperdebatkan. Bahwa kalau tidak parmalim berarti bukan Batak. Bukan itu poinnya. Arti agama asli lebih pada pengertian agama orang Batak sebelum hadirnya agama impor.
Baiklah, kita cukupkan sampai di sini. Semoga tulisan ini dibaca dan dimaknai dari keseluruhan dan bukan dari judul saja. Percayalah, di tengah banyaknya bacaan, media harus punya jurus untuk menarik minat pembaca. Jika jurusnya selalu menggunakan pakem penjudulan yang benar, pembaca tidak akan terpantik untuk membaca.
Sayang, sering kali kita hanya berkomentar tanpa membaca. Tetapi, begitulah adab kita. Oh, iya, sepertinya kita bisa berimajinasi. Apakah kemunculan agama Parmalim seusia dengan Si Raja Batak? Atau, Parmalim itu baru muncul setelah Dinasti Sisingamangaraja? Atau, apakah dari Si Raja Uti?
Maksud saya bertanya tentang itu adalah bahwa mungkin ada titik terang antara Batak Berburu (nomaden) dengan Batak Bertani (menetap). Pasti ada Batak berburu bukan? Namun, satu yang pasti, hingga di kalimat ini rasanya kita sudah mengerti bahwa parmalim bukan agama asli Batak, tepatnya secara pemberian bahasa nama karena sama sekali itu bukan dari bahasa Batak.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang