Parapat, NINNA.ID–Parapat bukan sekadar persinggahan menuju Danau Toba. Ia adalah ruang jiwa yang menggantungkan harap pada kesetiaan, tempat di mana janji bisa menjadi batu, dan luka berubah menjadi legenda.
Hanya lima menit dari keramaian Pantai Bebas Parapat, berdirilah sebuah kisah yang tak lekang oleh zaman—Batu Gantung.
Tebing sunyi yang menatap Danau Toba ini tak hanya menyimpan keindahan, tetapi juga luka dari masa lalu yang membatu.
Dikenal dalam legenda maupun lagu, Batu Gantung adalah pengingat tentang harga dari janji yang dikhianati dan cinta yang tidak dihargai.
Seruni: Gadis yang Menyerukan “Parapat!”
Legenda setempat menyebutkan bahwa Seruni, gadis Batak yang malang, dipaksa menikah dengan lelaki yang tak ia cintai.
Dalam keputusasaan, ia melangkah ke tebing, menangis dalam doa dan rasa terhimpit, lalu menyerukan kata terakhirnya: “Parapat! Parapat!”—sebuah seruan untuk menyatu dengan batu, demi menghindari aib dan penderitaan.
Tubuh Seruni hilang, menyatu dengan tebing, dan terbentuklah Batu Gantung—monumen bisu atas kepedihan dan sumpah setia.
Cerita ini bukan sekadar legenda, melainkan cermin tentang betapa mendalamnya penderitaan yang bisa dialami perempuan ketika cinta dan pilihan hidup mereka diabaikan.
Sama seperti Seruni, banyak jiwa hari ini masih bergulat dengan luka karena harapan yang patah dan janji yang dikhianati.
Ketika Lagu Menjadi Narasi Jiwa: “Batu Gantung” dari Rita Butar-Butar
Lagu “Batu Gantung” yang dinyanyikan Rita Butar-Butar seperti lembaran puisi pilu yang menyoroti kisah yang sama—kisah perempuan yang ditinggal kekasih, menerima surat undangan pernikahan yang bukan untuknya.
Dalam liriknya, ia memilih pergi ke Batu Gantung, tempat janji mereka dulu terucap, untuk mengubur kesedihannya:
“Ke Batu Gantung lah aku pergi
Di puncak Danau Toba
Untuk mengubur semua
Kesedihan hati ini…”
Lagu ini menegaskan bahwa Batu Gantung bukan sekadar batu; ia adalah simbol dari perasaan yang tertambat, dari janji yang tergantung dan tak pernah lunas.

Parapat dan Girsang: Di Sini Janji Masih Dihormati
Namun Parapat bukan hanya tentang duka. Lihatlah Kampung Girsang—sebuah kampung yang berdiri tak jauh dari Batu Gantung. Di sini, kesetiaan tak hanya menjadi kenangan, tapi hidup dalam denyut harian.
Warga Girsang menepati warisan leluhur, tetap setia menanam, menjaga tanah, membangun dari peluh dan gotong royong. Tak beranjak mencari hiruk-pikuk hidup modern.
Bukit Simumbang dan Sirikki bukan sekadar lanskap alam, melainkan saksi ketulusan hati dan ketekunan.
Rumah-rumah Batak tanpa paku berdiri tegak, seperti semangat masyarakat yang enggan patah meski dunia berubah begitu cepat.
Generasi mudanya tumbuh dengan nilai kerja keras, dan cinta pada tanah sendiri. Mereka tak hanya mengenang janji, tapi menjalankannya—di ladang, di rumah, dan dalam cara mereka menyambut siapa pun yang datang sebagai tamu.
Batu yang Tak Pernah Jatuh
Walau bertolak belakang dalam kesetiaan, Parapat, melalui kisah Batu Gantung, mengajarkan pelajaran yang tak ternilai: bahwa janji bukan sekadar kata, tapi tanggung jawab.
Bahwa kekecewaan bisa membatu jika tak ditangani dengan kasih. Dan bahwa luka, bila dihormati, bisa menjadi cerita yang menguatkan banyak generasi.
Maka, datanglah ke Parapat. Berdirilah di hadapan Batu Gantung, dan tanyakan pada diri sendiri: janji mana yang masih menggantung di hatiku? Cinta mana yang belum kuberikan sepenuhnya?
Parapat menunggu, bukan hanya sebagai destinasi wisata, tetapi sebagai cermin bagi jiwa—tempat di mana kita belajar tentang setia, tentang luka, dan tentang tidak membiarkan satu pun janji menjadi batu.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga