Pagar Ni Huta

NINNA.ID – Jauh sebelum teknologi dan agama hadir di tanah Batak, sering terjadi konflik antar desa. Ada banyak pemicu. Ini mungkin karena perbedaan pemahaman tentang onan (pasar), atau mungkin karena dia ingin mencoba ilmu pertahanan tubuh yang dia pelajari dari datu, yang umum pada saat itu.

Oleh karena itu, setiap desa ‘dikelilingi’ dengan batu dan bambu sebagai pagar, yang masih lestari dan dapat dilihat di beberapa desa di Samosir. Bukan dengan situ saja, desa-desa sering juga dijaga makhluk dari dunia gaib, sehingga musuh tidak bisa leluasa memasuki perkampungan Batak.

Nah, pada artikel kali ini, mari kita simak sebuah pagar yang terbuat dari makhluk gaib ini. Ini adalah kompilasi dari cerita para sesepuh sebelumnya. Pagar – pagar yang dimaksud tersebut pun bermacam macam, ada yang terdiri dari berbagai ramuan dan bahkan ada yang harus mengorbankan seorang manusia yang kemudian dikenal dengan istilah sibiangsa.

Tentu kalau dipikirkan dengan akal sehat sungguh tidak masuk di akal dan tidak manusiawi karena anak siapa yang mau dijadikan tumbal, bukan? Dikisahkan memang yang bisa melakukannya pada saat itu haruslah penguasa atau kalau tidak, dia haruslah Seorang Raja, sebab di masa itu masih sangat kental dengan budaya kasta.

BERSPONSOR

Saat itu, sesuai yang dipercayai, suku Batak ketika itu adalah pinompar ni raja (yang menjadi kaum bangsawan), Hatoban (yang menjadi kaum masyarakat biasa/jelata). Maka saat itu diduga masih berlaku transaksi jual beli manusia (perdagangan manusia) dan ini memang benar terjadi menurut para orangtua terdahul. Salah satu tempatnya, disebut-sebut di di Rura Partangisan, perbatasan Samosir dengan Humbang Hasundutan.

TERKAIT  Dalihan Natolu (8)

Beruntunglah pada abad ke-19 para misionaris datang ke tanah Batak sehingga budaya tersebut secara perlalan – lahan hilang.

Adanya perbedaan sosial di tengah suku Batak saat itu, dimanfaatkan penjajah Belanda untuk memecah belah masyarakat antar kampung yang kita kenal dengan istilah Devide et Impera.

Serangkaian trik malapetaka dari Belanda telah mengakibatkan munculnya seorang raja kecil di beberapa desa. Tentu saja, ini juga diprakarsai oleh Belanda, agar satu desa berkelahi atau menyerang desa lain.

BERSPONSOR

Kondisi ini menyebabkan marga-marga lain yang bukan marga asli dari kampung itu, untuk ikut mempertahankan kampung bersama. Dari sinilah muncul istilah Boru Sihabolonan.

Kelompok marga pendatang yang ikut mempertahankan kampung ini dari penjajah, dianggap berjasa dan biasanya diberi upah berupa tanah agar mereka berhak tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat. Selain itu, tidak jarang pula marga pendatang itu dijadikan menantu.

 

Penulis   :  Aliman Tua Limbong
Editor      : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU