NINNA.ID – Istri saya orang Nias. Boru Lase. Berarti mertua saya marga Lase. Mertua perempuan saya orang Batak. Tepatnya Simalungun. Ia boru Silalahi. Kakak ipar saya juga sudah menikah. Sama orang Batak juga. Itu berarti, dua anak perempuan mertua saya sudah menikah dengan Batak. Tinggal satu lagi lae saya. Mungkin juga akan nikah dengan Batak.
Pada pernikahan kakak ipar saya, tak ada ritus khusus. Kita tentu tahu. Bahkan, ada yang populer. Namanya Kahiyang Ayu. Ia seorang Jawa. Ayahnya seorang presiden. Juga seorang Jawa seutuhnya. Hingga akhirnya jodoh mengubahnya. Kahiyang Ayu jadi boru Siregar. Jokowi pun jadi marga Siregar. Ia menjadi Batak yang Jawa.
Ada ritus khusus untuk itu: jadi Siregar. Tidak terjadi begitu saja. Jokowi pun tak bebas memilih. Karena dekat dengan Panjaitan, bukan berarti Jokowi bisa memilih jadi Panjaitan. Itu tergantung jodohnya. Andai Kahiyang Ayu menikah dengan saya, Jokowi tak jadi bermarga Siregar. Jokowi harus bermarga Lumban Gaol.
Itu karena ibu saya boru Lumban Gaol. Nah, Jokowi bermarga Siregar. Berarti, ibunda Bobby Nasution adalah boru Siregar. Andai ibundanya boru Situmorang, maka saya bisa menulis status FB: Situmorang do nampuna negara on. Maksud saya, lazim memberi marga pada proses nikah beda suku di luar Batak. Tetapi, tidak dengan kakak ipar saya.
Di panjouon di pesta adat, hula-hula tetap dipanggil Lase. Mertua laki-laki saya kebetulan sudah meninggal. Keluarga pun sudah jauh. Tidak hanya jauh fisik, tetapi juga jiwa. Maka, dipanggillah Lase yang lain. Lase yang benar-benar tak ada hubungan darah dan keluarga. Yang penting: Lase. Mereka inilah hula-hula pada pesta itu.
Saya pun juga menikah. Saya bertanya: apakah istri saya jadi boru Lumban Gaol? Tetua adat bilang: tidak. Mengapa? Tanyaku. Jawaban mereka sederhana: calonmu bermarga. Ia tak seperti Jawa. Maka, jadilah istriku tetap Lase di pesta itu. Penerima tintin marangkup pun ada. Yaitu, tulang saya bermarga Lumban Gaol.
Andai dibuat jadi Batak, istriku secara adat akan jadi boru Lumban Gaol. Hal itu berarti bisa satu hal: tak perlu ada tintin marangkup. Singkat cerita, pada adat itu, Nias adalah Batak. Batak adalah Nias. Tak ada ritus beri-memberi marga, apalagi ubah-mengubah marga. Karena itulah, saya tak terkejut hari ini. Kebetulan, saya berjumpa dengan orang Nias.
Saya sedang belanja. Entah karena apa, kami pun berbincang. Ia marga Harefa. Katanya, jika di Batak, ia adalah Gultom. Darimana jalannya? Dia menjawab. Tidak semua Harefa adalah Gultom. Ini hanya Harefa dari garis keluarga kami saja. Berarti, ada kedekatan mereka. Entah karena kedekatan apa.
Yang pasti, Harefanya sekeluarga adalah Gultom. Gultom itu pasti menganggap Harefa sekeluarga tersebut adalah Gultom. Mereka Harefa yang spesial. Sebab, sudah pasti tidak semua Harefa adalah Gultom. Aneh memang. Tapi, saya membaca satu hal. Beginilah barangkali dulunya mengapa ada pertautan marga.
Konon, di Karo, Situmorang adalah Perangin-angin. Konon, di Pakpak, kami jadi bermarga Padang. Marga lain juga pasti begitu. Ada pertautan marga meski lintas puak. Jadi, saya tak terkejut hari ini. Harefa menjadi Gultom. Agak aneh memang. Padahal, sebelum ini, selalu ada anekdot yang mencerminkan permusuhan atau dendam.
Itu tentang isi khotbah seorang pendeta. Kita semua sudah tahu isinya khotbah itu. Saya tak tahu khotbah itu ada atau tidak. Yang pasti, khotbah itu mencerminkan adanya dulu kebencian. Namun, pelan-pelan, mereka sudah saling menerima. Tidak hanya saling menerima, tetapi juga memberi marga. Maka, jadilah sebagian Nias jadi Batak.
Penulis : Riduan Pebriadi
Editor : Mahadi Sitanggang