NINNA.ID – Judul di atas adalah antitesis turunan dari hipotesis Ompung Luhut. Saya suka kalimatnya ketika diwawancarai Rocky Gerung. Lebih-lebih, saya salut padanya karena datang ke rumah Rocky Gerung. Kita tahu, Ompung Luhut adalah simbol dari istana. Rocky Gerung simbol dari perlawanan istana. Ada yang harus dicatat.
Bahwa perlawanan di sini bukan berarti peperangan. Perlawanan di sini adalah adu gagasan. Satu pelaksana, satunya lagi pengkritik. Bahasa negaranya: satu eksekutif, satu oposisi. Rocky Gerung adalah oposisi sejati. Malah, pada suatu saat, saya mengingat kata-kata Rocky Gerung: begitu Prabowo jadi presiden, saya jadi oposan.
Melihat perjalanan panjang ini, saya semakin respek pada Rocky Gerung. Saya semakin sadar satu hal. Yaitu, Rocky Gerung memang penjaga kewarasan di negeri ini. Tugas Rocky Gerung memang mengkritik, bukan bekerja. Sebaliknya, tugas Istana adalah bekerja dan harus dikritik. Begitulah cara kerja supaya kewarasan tetap terawat.
Nah, ceritanya diawali dari sini. Simbol dari istana datang ke rumah luar istana: Ompung Luhut ke Rocky Gerung. Keduanya tokoh sentral di posisi masing-masing. Ompung Luhut sentral di Istana. Rocky Gerung di luar istana. “Apa harus jadi presiden aja kau bisa ngabdi? Kan gak juga!” kata Ompung Luhut. Kalimat ini muncul tidak dari ruang kosong.
Ompung Luhut memang jagoan. Kepemimpinannya di tingkat kementerian pantas diacungi jempol. Rocky Gerung juga mengakui itu. Saking sentralnya posisi Ompung Luhut, orang luar berkata dengan nyinyir: kepala, pundak Luhut lagi, Luhut lagi. Orang pun berkata: Luhut adalah The First Minister. Saya sepakat. Luhut memang pantas diberi jempol.
Belum tentu 50 tahun ke depan, kita mempunyai menteri selevel Ompung Luhut. Belum tentu. Saya ambil dengan contoh lain. Banyak menteri dengan label marga di belakangnya. Berarti, ia Batak. Tetapi, dari semua menteri berlabel marga itu, coba perhatikan perhatiannya pada Tanah Batak? Apa ada yang mengimbangi Luhut?
Dari banyak hal, meski saya juga sering mengkritiknya, Luhut adalah fenomena di Tanah Batak. Ia membangun sekolah dengan level tinggi, Del. Ini jasa luar biasa. Dulu, Nommensen meninggalkan satu jasa penting di Tanah Batak: pendidikan. Hasilnya, banyak orang Batak yang akhirnya menempati pos-pos penting.
Kali ini, Ompung Luhut juga melakukannya. Percayalah, sepuluh tahun ke depan, alumni dari sekolah Ompung Luhut ini juga akan mulai menempati pos-pos penting. Artinya, kehebatan Ompung Luhut tidak berhenti pada dirinya. Ia bermanfaat bagi orang lain. Ia membuat kader lain. Jadi, ada kemungkinan luar biasa untuk masa depan.
Kemungkinan itu adalah bahwa 20 tahun ke depan, orang Batak mungkin bisa menjadi presiden. Atau, akan ada pemimpin-pemimpin baru. Bahasa personalnya: luhut-luhut yang baru. Kalau untuk kali ini, ya, realistis saja. Sehebat apa pun Ompung Luhut, karena ia tidak dari Jawa, ia sudah pasti tak bisa jadi presiden. Ini bukan politik identitas.
Jadi, ini bukan seperti kata Fadly Zon: politik identitas. Ini murni realitas. Ini murni kesadaran. Kenali dirimu, lingkunganmu, dan tahulah realitas. Saat ini, Luhut memang fenomena. Tapi, presiden adalah pilihan dengan jumlah orang. Presiden tak selalu simbol dari paling bisa. Presiden masih cenderung simbol dari paling banyak.
Kau berasal dari paling banyak, ada kemungkinan. Kau dari paling sedikit, ya, sedikit kemungkinan. Itu hitung-hitungan matematisnya. Dan, matematis bersifat eksak. Bersifat pasti. Hanya keajaiban yang bisa membohongi sifat dari matematis. Artinya, hanya keajaiban yang bisa mengantarkan Ompung Luhut sebagai presiden. Cuma, butuh waktu yang lama menanti keajaiban, bukan?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang