HUMBAHAS – Pada sebuah petang di hari Valentin 2014, rombongan seniman berziarah di Permakaman Kristen di Jalan Gajah Mada, Medan. Saya sudah lupa orang-orangnya secara persis. Ada Idris Pasaribu, seniman dan sastrawan legendaris dari Sumatera Utara. Ada Jones Gultom, penulis yang menjadi inspirasi saya dulunya. Hari itu, saya masih mahasiswa. Tak perlu diberi tahu masa-masa mahasiswa saya. Cerita sedih tidak selalu untuk diulang, bukan?
Sebagai penyuka sastra dan seni, saya juga ikut kala itu. Kami berjalan kaki secara beriringan. Terik saat itu tak menggangu semangat berjalan kami. Kini, kami sudah tiba di permakaman itu. Terus terang, saya terkejut. Makam Nahum Situmorang lebih dari yang saya imajinasikan. Sebab, sebelum ini, saya membayangkan Nahum Situmorang itu sebagai orang besar.
Saya punya alasan. Saat itu, pemutar lagu masih mengandalkan CD player setelah kaset berpita. Lagu-lagu Batak umumnya dicipta oleh Nahum Situmorang. Mengingat namanya hampir dominan pada setiap lagu, saya mengimajinasikan bahwa Nahum Situmorang dimakamkan dengan sangat mewah. Tetapi, oh, hari ini saya melihat kenyataan yang berbeda. Makamnya seperti makam orang biasa. Apakah Nahum orang biasa-biasa?
Kuingat jelas, matahari cukup terik saat di makamnya. Karena itu, beberapa dari kami memilih untuk berebut kesejukan di bawah pokok pohon yang minim. Kami berziarah. Cukup sederhana: tabur bunga, doa singkat secara nasional dan Kristiani, mengheningkan cipta, lalu menyanyikan salah satu lagu ciptaannya yang berjudul Pulau Samosir. Kembali pertanyaan itu muncul: apakah Nahum Situmorang orang biasa?
Bagi orang lain, barangkali saja: ya. Tetapi, dengan segala karyanya, bagi saya dia luar biasa. Karena itu, saya menuliskan sebuah esai lumayan panjang untuknya dengan judul: “Nahum bukan Situmorang Saja”. Esai ini terbit di rubrik budaya dan sastra harian Analisa pada Minggu, 23 Februari 2014. Saya menjuduli esai itu dengan begitu (bukan Situmorang saja) karena saya pikir ia bukan hanya milik Situmorang. Ia milik kita semua.
Ia mewarisi kita kebahagiaan dengan berbagai lagunya. Konon, ia memang komponis hebat. Saya tak bisa mengonfirmasi secara pasti. Namun, dalam berbagai bacaan, Nahum disebut-sebut sejajar dengan Wage Rudolf Soepratman. Ya, pencipta lagu kebangsaan kita. Maksud saya sejajar adalah karena mereka berdua jawara mencipta lagu pada saat itu. Kebetulan saja Wage Rudolf Soepratman dengan “Indonesia Raya” juara pertama.
Tepat di bawah W.R.Supratman, ada Nahum Situmorang. Artinya, andai saja W.R.Soepratman tak ikut serta, maka lagu kebangsaan Indonesia adalah hasil karya Nahum Situmorang. Jadi, jika benar ia juara kedua, maka Nahum Situmorang semestinya mendapat penghormatan yang setimpal atau sekurang-kurangnya dikenang. Sebagai informasi, W.R.Soepratman hingga kini masih agung. Tetapi, Nahum Situmorang, ia ditinggal dalam sepi. Ia tak semujur generasi semarganya yang juga seniman, yaitu Sitor Situmorang.
Sitor Situmorang bernasib baik. Jauh lebih baik menurut saya. Berbekal puisinya yang salah satunya berupa harapan, ia pun dibawa pulang oleh negara dari Belanda untuk dimakamkan di tempat kecilnya. Begini kata Sitor dalam salah satu puisinya: “bila nanti ajalku tiba, kubur abuku di tanah Toba. Di tanah danau perkasa, terbujur di samping bunda”. Harapan itu dikabulkan. Bahkan, setahun setelah kepergiannya, Bang Thompson Hs melalui PLOt membuat pesta peringatan.
Kala itu, saya juga ikut serta. Saya menginap di rumah Oppu Babiat Situmorang. Kami mengadakan berbagai pelatihan seni. Ada musik. Ada lakon. Ada puisi. Ada menyanyi. Saya sendiri melatih lakon dan puisi. Anak-anak bergembira. Bahkan setahun setelah kematiannya, Sitor makin sering dibaca oleh anak-anak. Entah bagaimana sudah saat ini.
Kembali ke Nahum Situmorang. Ia tak senasib dengan Sitor Situmorang. Padahal, Nahum Situmorang sesungguhnya punya kerinduan yang identik. Ia ciptakan salah satu lagu legendaris berjudul “Pulo Samosir”. Pada lagu itu, ia menulis: Molo marujungma. Muse ngolonghu sai ingotma. Anggo bangkengku di si tanomonmu. Disi udeanku, sarihon ma.
Arti langsungnya begini: bila berakhir nanti, kelak dari hidupku, ingatlah. Jenazahku di sanalah dimakamkan. Tolonglah pikirkan.
Hingga kini, Nahum Situmorang kesepian di Medan. Lagunya hanya pelipur lara. Mungkin sekali ia akan semakin dilupakan. Sebab, membawa abunya ke Samosir bukan perkara gampang, juga yang pasti bukan pula kemustahilan. Soalnya, Nahum Situmorang melajang seumur hidupnya. Dalam tradisi, membawa tulangnya ke Samosir tentu tak wajar karena ia tak punya keturunan. Tetapi, apa itu wajar? Bukankah segala sesuatu butuh pembenaran dan bisa dimaklumi?
Maksud saya begini: siapa yang mengatakan wajar berpesta dengan keyboard, atau bahkan musik band? Itu bukan tradisi kita. Tetapi, saat ini, hal itu bisa kita benarkan dan dimaklumi, bukan? Sama, jika memang ada niat, memindahkan tulang belulang Nahum Situmorang ke Samosir pun sebenarnya bisa dicari alasan untuk membenarkan. Toh Nahum Situmorang sudah berjasa. Sangat berjasa.
Perhitungannya simpel. Begini. Ada setidaknya 200-an judul lagu yang ia ciptakan dalam tempo yang relatif singkat. Lagu-lagu itu sudah dinyanyikan banyak orang. Direkam, penyanyi dapat uang masuk. Dinyanyikan di kafe, penyanyi dapat sumbangan. Dinyanyikan ulang di berbagai kanal (cover), penyanyi dapat uang masuk meski mungkin sedikit dan tak menutup kemungkinan juga besar. Artinya, lagu itu masih menghasilkan sampai sekarang. Sekali lagi, sampai sekarang.
Tetapi, sayang, saat ini banyak dari kita tak mengenal lagi siapa Nahum Situmorang. Jangan-jangan penyanyi itu pun tak tahu siapa penciptanya karena ia fokus hanya bernyanyi? Entahlah. Hanya memang, terbersit dalam pikiran saya sebuah pertanyaan sulit, yaitu bagaimana cara kita untuk mengenangnya. Bisakah kita berpikir untuk menggenapi mimpinya atau sekadar membuat simposium mini untuk mengenangnya?
Saya takut bermimpi terlalu jauh. Sebab, ini adalah bulan kematiannya, tepat di hari yang ke-20. Jika pun ada tulisan ini, ini hanya pelipur lara yang sederhana. Bahwa ia akan semakin terlupakan, itu adalah sebuah kepastian. Pasti sekali. Bukti kecilnya, bagi kita orang tua, coba bertanya dengan lembut pada generasi muda: apakah kamu tahu Nahum Situmorang? Semoga kamu bertanya untuk memastikan.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang