TOBA – Kemunculan kabut tebal yang tiba-tiba, sering membuat pendaki lokal mengurungkan niat ke puncak gunung Pangulu Bao. Puncak ini masih asing bagi warga sekitar, tapi menjadi tujuan utama turis asing. Ganjil! Terlebih para turis itu memilih mendaki sendiri tanpa jasa pemandu.
Puncak ini berada pada ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut. Salah satu puncak pada gugusan bukit barisan, yang terletak di Kecamatan Lumbanjulu, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara.
Belum diketahui secara pasti asal muasal penamaan puncak gunung ini hingga disebut Pangulu Bao. Sebelum pandemi Covid-19 melanda bumi, puncak gunung ini sering dikunjungi wisatawan mancanegara, khususnya dari Benua Eropa.
Kunjungan wisatawan dari Eropa ke puncak gunung ini, masih mengandung misteri. Jika pendakian umumnya dilakukan berkelompok, tapi rata-rata wisatawan itu melakukan secara solo.
Memang di awal sekali, turis asing itu membutuhkan jasa seorang guide lokal, menuju lokasi puncak, dengan harga yang sudah disepakati. Begitu jarak menuju puncak sudah tidak terlalu jauh, misteri itu pun dimulai.
Turis asing tadi meminta guide lokal untuk turun dan membiarkannya mencapai puncak seorang diri. Dan itulah pertemuan terakhir pemandu lokal tadi dengan si turis. Dia tidak akan pernah tahu, kapan turis tadi turun dari puncak dan apa kegiatannya di puncak Pangulu Bao. Kebiasaan ini selalu dilakukan setiap turis asing, baik itu pria maupun wanita.
Mengetahui informasi ini, saya (penulis) ikut penasaran dengan keganjilan para pendaki ke gunung itu. Trip mengikuti trek pendakian para turis itu kami lakukan, bersama satu orang teman berikut seorang pemandu lokal.
Jalur pendakian melewati jalur yang biasa digunakan para pendaki, yaitu dari daerah pertanian Lumban Pea. Lazimnya hutan tropis, tanah dan pepohonan di gunung itu juga dibalut oleh lumut yang sangat tebal. Cuacanya cukup dingin. Perlengkapan yang disimpan di dalam ransel pun akan basah, jika tidak dilapisi oleh pembungkus yang memadai.

Setelah melakukan pendakian sekitar 6 jam, kami pun tiba sebagian puncak. Puncak gunung ini ternyata cukup datar dan luas. Ada pilar beton persegi empat, setinggi lebih kurang 150 cm berdiri. Di salah satu sisinya ada tulisan “PRIM TRIANG NO 107”.

Konon pilar itu dibuat oleh Belanda sebagai penanda, sekaligus untuk kebutuhan pemetaan. Tidak jauh dari pilar ada bekas Heli Pad.
Pilar sejenis sebenarnya bisa kita temui di beberapa titik tertentu di sekitar bukit barisan. Namun pilar yang sering dikunjungi turis Eropa serta punya Heli Pad, mungkin hanya pilar No. 107 ini. Jika cuaca cerah, dari puncak bisa ini Danau Toba terlihat jelas, bahkan Pulau Samosir hampir terlihat seluruhnya.
Di sekitar tempat itu, kami menemukan tumbuhan yang oleh masyarakat Toba disebut dengan nama Tahultahul atau jamak dikenal dengan kantong semar (Tropical pitcher plant). Tahultahul yang kami temui di lokasi puncak itu memang agak sedikit berbeda dengan tumbuh sejenis di lereng gunung. Namun, tumbuhan itu belum menguak misteri seputar puncak Pangulu Bao.

Satu-satunya informasi berharga yang ingin kami temui di sekitar puncak gunung ini adalah, mata air langka dengan warna air yang kemerahan.
Menurut beberapa sumber yang masih harus diteliti kebenarannya, sumber air berwarna kemerahan di Pangulu Bao itu disebabkan berlimpahnya cadangan sumber daya tambang sejenis uranium.
Sayangnya, karena tidak membawa persiapan untuk menginap, kami harus kembali. Kami tidak berhasil menemukan mata air itu, karena kabut tebal mendadak menyelimuti.
Upaya kami kandas seperti pengalaman beberapa pendaki lokal yang sudah beberapa kali mendaki ke puncak itu, tetap kembali terhalang kabut tebal yang datang tiba-tiba di sekitar puncak. Kabut itu seakan isyarat, agar misteri di puncak Pangulu Bao, biarlah tetap menjadi misteri.
Penulis : Asmon Pardede
Editor : Mahadi Sitanggang