NINNA.ID – Ada yang cukup spesial pada perayaan hari anak oleh Tim PKK Humbang Hasundutan. Ketua Tim PKK Humbang Hasundutan, Ny. Lidya Dosmar Banjarnahor, hadir dengan antusias.
Sehari sebelumnya,dia bahkan sangat aktif untuk mendekorasi ruangan bersama ibu-ibu PKK dan anak-anak. Panggung jadi meriah. Meriah ala anak-anak tentu saja. Ada ratusan balon yang ditempel menghiasi dinding dan panggung.
Saya tak tahu banyak tentang acara ini. Acara ini diberitahukan Kak Golda Simarmata dari Sanggar Seni Tonggi dan Kartini Sitanggang. Kebetulan, keduanya jadi juri utama martumba pada hari anak. Golda Simarmata memberi kesempatan pada istri saya sebagai tim kreatif utama di Sanggar Maduma untuk membawakan sendratari. Istri saya mengiyakannya. Dan, dari sinilah saya sedikit mengetahui acara ini.
Perayaan hari anak ini cukup sederhana. Namun, sangat meriah. Anak-anak tampil antusias.
Ada martumba khusus untuk anak PAUD. Ada lomba marumpasa dengan tema pariwisata di Humbang Hasundutan. Ada lomba menulis aksara Batak. Tentu, ini menjadi sesuatu yang positif karena anak kecil dikenalkan sejak dini pada tradisinya. Jadi, ini sungguh pantas ditiru.
Seperti diketahui, acara berlangsung meriah. Anak-anak martumba dengan seragam memikat. Ada yang menari sambil bernyanyi. Anak SMP juga sudah fasih membuat umpasa kreasi. Disebut kreasi karena dominan umpasa baru. Tentu, itu bukan hal yang salah. Sebab, umpasa juga pantun. Untuk urusan edukasi dan rekreasi, kita bisa menciptakan umpasa-umpasa yang baru sebagai pengayaan.
Yang menarik, ada seorang siswa. Ia bahkan wanita. Ia tampil megah. Mengucapkan banyak umpasa nyaris untuk semua kategori. Ada untuk mangapuli. Paolihon anak. Pokoknya, tentang hampir semua kategori ia babat. Saya sampai terkagum di belakang panggung. Kebetulan, saya di belakang panggung. Namun, tentu saja lomba umpasa ini adalah lomba membuat dan melafalkan sesuai tema pariwisata sehingga ia tidak juara.
Satu yang positif, anak itu mengingat banyak umpasa dan mampu melafalkannya. Para anak sanggar kami berdecak kagum. Kebetulan, kebanyakan mereka adalah anak SMP. Saat ini, banyak dari kita yang tak tahu melafalkan umpasa. Bahkan, banyak dari generasi muda saat ini yang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin, karena itulah mereka kagum.
Tetapi, sesungguhnya, saya lebih kagum pada anak sanggar kami di Sanggar Maduma yang tampil saat itu. Menurut saya, mereka sangat dewasa dan gampang untuk diolah serta dikembangkan potensinya. Betapa tidak? Ketika istri saya, Hestyoni Lase, menerima tawaran dari seniornya Golda Simarmata, saya sebenarnya cenderung pesimis. Mempersiapkan sendratari selama seminggu saja bukan pekerjaan mudah.
Tetapi, begitulah anak-anak sanggar kami. Mereka bisa dikembangkan dengan baik. Mereka bisa mengeksplorasi ide istri saya dengan baik. Ada tari kreasi Marsuan. Ada tari kreasi bekerja, bermain, lelah, kantuk, dan sebagainya. Lalu, diramu dengan berbagai cerita sehingga menjadi cerita yang utuh. Ada sulap. Ada belajar. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Ide yang kompleks.
Tepat ketika acara selesai, saya merenung. Andai anak itu saya, saya pasti tidak bisa mengeksplorasi ide yang kompleks itu. Tepat saja, bahkan ketika disuruh ke depan saja oleh guru dulunya saya gagap dan gugup. Tetapi, mereka tidak. Mereka menikmati sendratari itu dengan baik. Dari situ saya berpikir, anak-anak kita sebenarnya punya potensi terpendam melebihi diri kita.
Potensi ini harus dirawat melalui berbagai kreativitas senior. Ya, tentu saja masih banyak kelemahan soal mimik, keteraturan, juga keindahan. Namun, jam latihan yang terbatas, sekitar seminggu bersih, rasanya itu sudah sangar jauh dari imajinasi saya. Belum lagi tempat latihan yang tak kondusif. Rumah kontrakan kami sangat kecil. Tidak muat untuk latihan 30 orang.
Ketika ke lapangan, cuaca kadang tak bersahabat. Hujan. Terik. Belum lagi menyatukan waktu untuk berlatih. Sebab, setiap anak punya kesibukan masing-masing. Ada untuk natal. Ada persiapan ujian. Macam-macam. Sesekali, saya memarahi mereka. Dan, yang menarik, mereka tak sakit hati ketika dimarahi. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti kemarahan saya sebagai perancang cerita.
Ketika GR sehari sebelumnya, mereka tampil buruk. Saya kembali memarahi mereka. Di hadapan ibu PKK saat itu. Tetapi, mereka tetap tak sakit hati. Mereka sudah sangat dewasa untuk mengenal saya. Atau, mungkin mereka lebih melihat istri saya yang lembutnya aduhai sehingga mengabaikan semua kemarahan saya. Buktinya, mereka tetap ceria.
Mereka membantu ibu PKK dengan antusias. Ny. Lidya Dosmar Banjarnahor juga ikut serta. Seorang anak sanggar berkata kepada saya: ibu itu rajin kali padahal pejabat. Dan, ia pun makin rajin. Disuruh menempel balon, oke. Disuruh mengikat balon, siap. Disuruh menyapu, lanjut. Intinya, anak-anak ternyata punya potensi yang banyak. Mereka cukup dewasa untuk mengerti kita.
Maka, pada perayaan hari anak ini di Humbang Hasundutan, saya sangat tersanjung pada mereka. Mereka sudah cukup mandiri. Sewaktu makan bersama ketika latihan, kebetulan saya mentraktir mereka, mereka berkata: kami akan tampil luar biasa pada hari H Pak. Tentu saja, saya tak percaya anak-anak. Sebab, saya juga pernah anak-anak.
Kini, aku sudah lebih percaya pada anak-anak. Mereka luar biasa. Bisa berteater dengan suara tanpa mikrofon namun terdengar hingga ke belakang. “Hari ini aku memutuskan, kalian tak pantas dimarahi,” kataku di rumah sambil menikmati makanan. Kami juga butuh dimarahi kalau itu atas dasar rasa sayang untuk mengembangkan kami, kira-kira begitu mereka berkata.
Saya salut. Dan, saya antar mereka satu-satu ke rumahnya. Badanku juga sudah lelah. Hampir seminggu saya pilek. Ada banyak tugas. Tetapi, demi menghargai cara mereka menghargai kita, aku membawa sebagian dari mereka jalan-jalan ke Balige. Kami pulang sudah hampir pukul 10 malam. Di sepanjang jalan dari Balige ke Doloksanggul, mereka bernyanyi sangat serius dan tulus.
Bahagia sekali. Anak-anak memang luar biasa. Kadang, kita berpikir mereka tak memahami kita. Padahal, sesungguhnya, kitalah yang tak memahami mereka. Jayalah anak-anak Humbang Hasundutan. Kuatkan akar tradisimu, ya…
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang