NINNA.ID – Keistimewaan masa silam adalah mereka dekat dengan alam. Karena itu, hampir setiap peristiwa alam dinikmati. Namun, ada satu peristiwa alam paling diingat. Itu ketika manusia belum menjajah malam. Lampu belum bergantung di tiang-tiang listrik. Malam masih pekat, kecuali ketika rembulan datang, apalagi pada purnama. Malam purnama akhirnya menjadi istimewa. Manusia seperti jadi punya waktu tambahan untuk dinikmati.
Karena itu, pada malam purnama, tak kecuali anak-anak, semua merayakan dengan gembira. Kanak-kanak bermain-main, remaja menjelang dewasa cenderung mencari jodoh, dan orang-orang tua menonton dari depan rumah.
Bulan purnama jadi benar-benar istimewa. Batak menyebutnya Bulan Tula. Di bulan seperti inilah alam dirayakan dengan sangat meriah. Namun, hari-hari kontemporer ini, kita tak menemukannya lagi. Semua kita sudah mengurung diri di rumah.
Aku termasuk orang yang beruntung. Masa kecil masih bisa kunikmati dengan banyak permainan. Berlarian dan berkejaran. Bersembunyi. Main petak umpet. Main gala. Masih banyak untuk disebut. Yang paling berkesan bagiku adalah ketika kerbauku beranak. Kebetulan, hari itu adalah bulan tula. Kanak-kanak pun merayakannya dengan banyak permainan. Aku ikut serta. Mulai dari berkejaran dan terakhir bersembunyi.
Bulan cukup terang. Maka, aku bersembunyi di bawah rumah panggung. Kucari tempat paling gelap di sebuah sudut. Di sini, ayam sering datang. Jika dibayangkan saat ini, itu sesuatu yang menjijikkan karena sudah pasti banyak kotoran ayam, bahkan sesekali babi. Hehehe, saat itu babi memamg masih berkeliaran di kampung kami. Dan, aku pun mengendap dan tiarap. Lama-lama, aku tertidur. Lelap sekali.
Entah jam berapa sudah, aku pun terbangun. Hari itu, di kampungku, jam hanya satu. Dan, itu bukan di rumah kami. Halaman sudah sepi. Perapian untuk anak kerbau kami sudah mulai padam. Itu artinya aku sudah cukup lama tidur di sini. Tak mungkin lagi hanya sejam. Aku sebenarnya marah dalam hati mengapa orang tua tidak mencariku. Tetapi, untuk apa dicari? Sebab, kadang kami memang pulang setelah mereka tidur.
Dapat kupastikan, kedua orang tuaku sudah tertidur ketika kami bermain. Wajar karena mereka pekerja keras. Berangkat pagi pulang menjelang malam. Dan, aku pun seharian sudah lelah. Aku masih kelas 3 SD saat itu. Tetapi, hehehe, jika harus dibandingkan pada kondisi saat ini, tanggung jawabku sudah cukup besar. Memasak setiap pagi dan malam. Mencari rumput untuk kerbau. Memberi babi makan. Kadang masih ada tugas tambahan lain.
Tetapi, pekerjaanku tidak terlalu istimewa. Maksudku, hampir semua sebayaku pada saat itu memang sudah bekerja dan melakukan banyak hal. Kami dipaksa untuk cepat dewasa. Tumben saja hari itu mungkin aku terlalu lelah dibandingkan kawan lain. Dan, akhirnya aku pun tertidur di bawah rumah panggung ini. Yang masih kupertanyakan hingga saat ini adalah: mengapa teman sepermainanku tidak mencariku?
Baiklah, baiklah, baiklah. Pada esai singkat ini aku hanya mau bilang bahwa dulu kami punya permainan yang lebih menyenangkan dari squid game. Aku bermimpi pemerintah setempat bisa mengadakan malam seperti ini sebagai bagian dari festival tahunan agar kanak-kanak tidak melulu dengan game khas gawai. Jika anak melulu dengan game seperti itu, mereka akan kecanduan dan semakin soliter.
Lagipula, permainan rakyat, terkhusus pada malam bulan purnama, cukup banyak sebagai alternatif. Nyanyian-nyanyiannya pun masih melekat dalam ingatan. Mulai dari nyanyian kanak-kanak hingga nyanyian orang dewasa. Siapa tahu dengan menyelenggarakan permainan tahunan seperti ini, kita bisa mendapatkan sesuatu yang jauh dari imajinasi kita. Percayalah, masa lalu tak selalu beku dan kelu.
Baiklah, mari saya kutip syair lagu khas bulan tula di esai singkat ini sebagai pengingat bahwa kita pernah lebih bahagia dari saat ini. /Ole-ole lakkat ni tobu ale/ molo poltak bulan i/ mangalap boru ale/ boru aha ale/ boru ni tulang ale/ manuruk ma hamu sude/ tartangkup naparpudi/. Siapa coba yang masih ingat kebahagiaan jika mendengar syair itu?
Bulan tula milik segala usia. Tua dan muda punya lagu masing-masing. Pada masa ini, di bulan yang terang ini, saat anak-anak bermain-main, ada juga perayaan Gondang Na Poso. Mungkinkah kita bisa mereka ulang perayaan bulan tula ini untuk memastikan bahwa kita pernah bahagia, untuk memastikan bahwa kita mengejar masa depan bukan untuk meninggalkan masa lalu, untuk memastikan bahwa sebenarnya tak ada yang benar-benar hilang dari kita?
Jujur, aku bermimpi, malam itu kembali tiba ketika malam menjadi malam yang luar biasa. Agak aneh mungkin merayakan bulan tula saat ini setelah lampu bergantungan di tiang-tiang listrik dan di teras-teras rumah. Jangan-jangan setelah lampu menerangi malam generasi muda kita tak pernah lagi melihat bintang? Cobalah tanya mereka apakah mereka masih mengenal bintang di langit atau tidak?
Sembari kamu bertanya, malam ini aku ke luar. Bulan masih berbentuk sabit. Di sebelahnya ada cahaya sebesar kelereng. Dari kecil, aku selalu melihat cahaya sebesar kelereng itu di samping sang bulan. Aku tiba-tiba mengerti bahwa malam dulu dan malam sekarang masih tak berubah. Bintang masih ramai untuk dipandang dan untuk direnungkan betapa kita ini kecil di galaksi yang mahaluas.
Jika pun saat ini malam seperti sudah lain, itu bukan tentang malam yang berubah. Ini tentang kita yang makin berubah dan makin jauh dari alam tanpa kita sadari. Akhirnya, semoga di suatu saat, ada perayaan khusus untuk malam yang temaram di bulan tula seperti dulu kala. Jika saja saat itu tiba, kita bisa kembali bernyanyi dan bermain. Tetapi, bilakah saat itu tiba?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang