Samosir, NINNA.ID-Kabupaten Simalungun, sebuah wilayah di Sumatera Utara yang kaya akan sejarah dan budaya, terhampar di antara 02°36’-03°01’ Lintang Utara. Kabupaten ini dikelilingi oleh lima tetangga yang tak kalah menarik: Serdang Bedagai, Karo, Toba, Samosir, dan Asahan.
Dengan luas mencapai 4.386,6 km², Simalungun mencakup sekitar 6,12% dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2024, populasi penduduknya tercatat sebanyak 1.020.000 jiwa, tersebar di 31 kecamatan dan 202 desa.
Keindahan Topografi Simalungun
Wilayah Simalungun menyajikan lanskap yang memukau, mulai dari puncak-puncak bukit hingga pantai timur Danau Toba. Gunung-gunung seperti Dolok Mardinding, Marpalatuk, Sisae-sae, Batu Loting, dan Simanuk-manuk menjadi saksi bisu keagungan alam sekaligus pembatas alami dengan Tapanuli dan Asahan.
Sementara itu, Gunung Sipiso-piso, Singgalang, dan Simbolon menjadi penanda batas dengan Kabupaten Karo. Gunung Simbolon dan Gunung Singgalang bahkan dianggap suci oleh masyarakat setempat.
Sungai Bah Bolon, yang menjadi sungai terbesar di wilayah ini, mengalir dari Pegunungan Simanuk-manuk, melewati Sidamanik, menyusuri Kota Pematang Siantar, hingga bermuara di Selat Malaka, menghidupkan berbagai ekosistem di sepanjang perjalanannya.
Filosofi Hidup yang Mendalam
Budaya Simalungun didasarkan pada filosofi mendalam habonaron do bona, yang berarti “kebenaran adalah pangkal segalanya.”
Filosofi ini menjadi landasan hidup masyarakat Simalungun untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kehati-hatian dalam berbagai aspek kehidupan.
Semangat kebersamaan tercermin dalam semboyan “Sapangambei manoktok hitei,” yang berarti “bekerja sama membangun jembatan.”
Konsep tolu sahundulan lima saodoran (“tiga elemen dan lima hubungan”) menjadi panduan dalam kehidupan sosial. Tolu sahundulan meliputi sanina (saudara semarga), tondong (pihak pemberi istri), dan boru (pihak penerima istri), yang masing-masing memiliki peran penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat.
Delapan nilai kebenaran yang dijunjung tinggi meliputi:
- Berpandangan benar
- Berencana benar
- Berbicara benar
- Bekerja benar
- Berpenghidupan benar
- Berusaha benar
- Berperhatian benar
- Berpikiran benar
Sistem Kekerabatan yang Erat
Identitas masyarakat Simalungun sangat terkait dengan marga, yang diturunkan melalui garis ayah. Sistem patrilineal ini melarang pernikahan antar individu dengan marga yang sama. Selain itu, hubungan kekerabatan melalui pihak ibu (bilineal descent) juga dihormati, menjadikan keluarga ibu sebagai pemberi berkah yang penting.
Tiga kelompok kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Simalungun adalah:
- Keluarga inti: suami, istri, dan anak-anak yang belum menikah.
- Kerabat di luar keluarga inti: keluarga ayah dan ibu.
- Keluarga besar: gabungan kerabat dari pihak suami dan istri.
Struktur adat tolu sahundulan dan lima saodoran memberikan kerangka yang jelas bagi masyarakat, sehingga setiap orang memahami peran dan kewajibannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat.

Kepercayaan Tradisional yang Kaya Makna
Sebelum pengaruh agama monoteistik, masyarakat Simalungun mempraktikkan kepercayaan asli yang dikenal sebagai parbegu. Kepercayaan ini melibatkan penghormatan kepada roh nenek moyang, pohon-pohon keramat, dan tempat-tempat suci (parsinumbahan).
Mereka percaya pada roh-roh yang memiliki sifat baik, jahat, atau campuran keduanya. Upacara rondang bintang menjadi salah satu tradisi penting sebagai ungkapan syukur kepada Naibata, Sang Pencipta.
Dalam tradisi ini, persembahan berupa binatang dan nitak (ramuan makanan) dipersembahkan, dipimpin oleh seorang dukun (datu) yang memohon berkat, kesembuhan, atau perlindungan dari roh leluhur.
Seiring waktu, agama Islam dan Kristen semakin meluas di wilayah ini, namun jejak tradisi parbegu masih dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Adat Istiadat yang Menjunjung Tinggi Leluhur
Tradisi pemakaman masyarakat Simalungun memiliki keunikan tersendiri. Tidak seperti Batak Toba yang mengenal adat “mangongkal holi” (menggali tulang belulang leluhur), masyarakat Simalungun menjalankan tradisi paturehon panimbunon (memperbaiki kuburan).
Tradisi ini dilakukan untuk memindahkan jenazah atau tulang belulang ke makam keluarga jika kondisi awal pemakaman dianggap kurang layak.
Prosesnya meliputi:
- Penggalian kubur oleh tondong pamupus (kerabat pemberi izin) yang disertai upacara adat.
- Pembersihan tulang belulang dengan air jeruk purut.
- Penataan tulang belulang ke dalam peti yang dibalut kain putih.
- Pemakaman ulang di lokasi baru, dilengkapi dengan penanaman pohon pisang sebagai simbol kehidupan dan keberlanjutan.
Tradisi lainnya, seperti horja manurun (penguburan ulang) dan pesta peresmian kuburan (pesta semen), turut melibatkan seluruh kerabat.
Pada acara ini, tamu undangan memberikan kain adat (hiou) dan uang sebagai bentuk penghormatan dan dukungan kepada keluarga yang sedang berduka.
Melalui tradisi ini, masyarakat Simalungun menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap leluhur serta memperkuat nilai-nilai kebersamaan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Inilah yang menjadikan Simalungun sebagai salah satu wilayah yang tidak hanya kaya akan alam, tetapi juga penuh dengan kearifan budaya.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga