NINNA.ID – Sudah ada seminar akbar baru-baru ini. Seminar itu menghadirkan banyak pihak. Ada seniman. Ada praktisi. Ada ahli. Pembicaranya beragam dari daerah. Namun, gaungnya belum kuat. Acara serupa pernah juga digagas. Itu pada tahun 2018. Pekerja di balik layarnya adalah Thompson Hs. Sponsornya adalah Pemkab Samosir melalui dinas pariwisatanya.
Jadi, sependek pengetahuan saya, Pemkab Samosir lumayan getol untuk membincangkan hari Batak. Meski begitu, gaungnya kurang bernas. Saya jadi teringat pada acara 2018 lalu. Ada tiga pembicara. Satu Lena Simanjuntak yang kini tinggal di Jerman. Disusul pembicara lain, Pastor Herman Nainggolan. Pembicara lainnya adalah Monang Naipospos dari Parmalim.
Saat itu saya peserta. Saya ikuti dengan hikmat. Yang pasti, tujuan dari kegiatan itu adalah kiranya kita sepakat akan sebuah hari yang khusus memperingati hari Batak. Semangatnya, semua Batak di dunia bergembira. Sebab, Batak saat ini tak lagi sebatas Indonesia. Sudah banyak orang Batak yang tak berkewarganegaraan Indonesia lagi.
Kita sudah seperti suku Tionghoa. Kini, orang Tionghoa ada di mana-mana. Tionghoa tak lagi terbatas pada negara China saja. Uniknya, pada suatu hari, mereka punya hari khusus sehingga semua orang Tionghoa merayakan hari bahagia itu. Di beberapa tempat, termasuk Indonesia, hari itu bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional. Apakah kita tak bisa seperti itu?
Ya, tak perlu bermimpi kejauhan supaya dijadikan libur nasional. Cukup libur lokal di Tanah Batak, misalnya. Atau, jadi libur fakultatif. Intinya, sebaiknya kita perlu sepakat pada satu hari. Hari itu kelak menjadi hari kebanggaan masyarakat Batak di mana pun. Saya lagi-lagi jadi teringat pada seminar di tahun 2018 itu. Adalah Lena Simanjuntak yang jadi satu poin saya.
Kata Lena Simanjuntak, di Jerman kini ada perayaan semacam hari Batak. Namanya Batak Tag. Saat itu, kata Lena, orang Batak di Jerman akan berkumpul. Mereka akan membuat kegiatan bernuansa kebatakan. Tentu saja, kegiatan itu tak orisinal lagi. Kegiatan itu sudah campur satu karena semangatnya lebih pada selebrasi, bukan ritualisme. Artinya, ini hari tentang kebanggaan.
Maksud kita, Batak diaspora di Jerman sudah membuat, apakah tak sebaiknya kita berpikir untuk memutuskan sebuah hari khusus? Kebetulan, pada Batak Tag di Jerman, saat itu saya hadir juga. Ternyata, pengunjungnya datang dari mana-mana di Jerman ke Kota Koeln. Ratusan kilometer ditempuh. Mereka berbahagia. Menari. Manortor. Ikut irama gondang, dan sebagainya, dan sebagainya.
Mereka bahagia paripurna. Yang menarik, di Jerman, orang Indonesia yang bukan Batak seakan menjadi Batak. Sebab, mereka ikut serta. Seingat saya hari itu, ada orang Sunda. Ada Jawa. Juga Melayu. Semua seperti menjadi Batak. Saya jadi kadang merasa lucu: kok di Tanah Batak, orang Batak jadi mengaku tak Batak atas nama bahwa Batak itu bukan suku, melainkan julukan?
Tapi, sudahlah. Tak perlu dibahas. Orang yang tak suka biasanya akan membuat lebih banyak alasan. Ya, ya, ya. Selalu ada alasan untuk menolak meski di balik itu, jauh lebih banyak alasan untuk menerima, bukan? Jadi, marilah fokus pada hal ini saja: kapan kita membuat sebuah hari? Lebih menantang lagi, kabupaten mana yang mau ikutan dalam program ini, selain Samosir?
Kapan Simalungun? Kapan Dairi? Kapan Toba? Kapan Karo? Kapan Tapteng? Kapan Taput? Kapan Humbang, juga yang lain. Kapan? Kapan? Kapan? Ini mungkin pekerjaan ribet. Karena akan banyak orang yang menolak meski sebenarnya jauh lebih banyak yang menerima. Satu yang pasti, jika hari itu dibuat, maka kita akan mencatat peristiwa heroik: munculnya pengalenderan Batak.
Sekali lagi. Akan banyak yang menolak. Itu sudah pasti. Kita tak bisa menyenangkan hati semua orang bukan? Namun, mari disadari. Di balik seribu yang menolak, ada sejuta yang berharap. Toh, gerakan penolakan seperti ini bukan barang baru. Pada 1919, kisah seperti ini sudah ramai di media Pewarta Deli (15/10/1919). Kira-kira tentang apa? Nanti kita lanjut ya, guys.
Penulis : Riduan Pebradi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang