NINNA.ID – Sudah cukup banyak menteri di negara kita yang bermarga. Banyak sekali. Namun, soal perhatian ke Tanah Batak, terutama ke Danau Toba, saya tak ragu untuk mengatakan bahwa Ompung Luhutlah pemenangnya. Tak ada yang menandinginya sejauh ini. Karena itu, Ompung Luhut adalah berkat untuk Tanah Batak, untuk Danau Toba.
Terus terang, saya khawatir. Andai Ompung Luhut tak lagi menjabat, apalagi usianya sudah cukup tua, apakah masih ada pemerintah pusat yang seperhatian ini ke Danau Toba? Sebagai harapan, semoga ada. Tetapi, sebagai realita, agaknya cenderung susah. Jadi, rasanya tak salah jikalau melalui esai singkat ini kita memberikan puji hormat untuk Ompung Luhut.
Beliau pantas dan sangat pantas dihormati. Ketika beliau mendirikan SMA Dell dan kini masuk dalam jajaran sekolah terhormat di negeri ini, saya semakin merasa takjub padanya. Bagi saya, beliau seperti Nommensen di masa silam. Tak bisa dimungkiri, generasi Batak yang hebat saat ini adalah buah dari kebaikan Nommensen karena membuka sekolah.
Kini, Ompung Luhut melakukan hal yang sama: membangun sekolah bergengsi dan menjalin relasi yang kuat antara sesama alumninya. Saya sangat yakin, puluhan tahun ke depan, alumni dari SMA Del akan bekerja di pos-pos penting negara ini. Inilah pengabdiannya yang paling monumental. Karena itu, SMA Del bagi saya tempat terhormat.
Jadi, ketika saya pernah membaca sebuah berita tentang ide membuat e-ticket feri di Samosir, dan kemudian konon dicetuskan di IT Del, saya menaruh hormat lagi pada Ompung Luhut. Konon, setelah ide itu muncul dalam rapat terbatas, banyak pihak berlomba untuk berpromosi dan membuat flyer. Isinya seperti berlomba-lomba untuk mengatakan era baru dalam penjualan tiket.
Biasa sih begitu. Gula selalu diramaikan semut. Begitu juga dengan era baru ini. Apalagi konon, Ompung Luhut dari kampungnya sendiri antusias. Jadi, semula, Bupati Samosir, Vandiko Gultom, menyampaikan pentingnya aplikasi e-ticket untuk feri yang dikelola oleh ASDP. Usul Vandiko langsung dijawab oleh Menteri Koordinator Mavest Luhut Panjaitan.
Diputuskan kala itu, bahwa paling lambat 17 Agustus 2022, aplikasi tiket elektronik akan diluncurkan. Paling lambat artinya itu tenggat waktu paling lama.
Artinya, bisa sebelum tanggal 17. Namun, satu yang pasti, tak mungkin lewat tanggal 17 Agustus. Begitu saya memahami arti dari paling lambat. Namun, ternyata, sampai tenggat waktu itu tiba, peluncuran tak jua muncul.
Padahal, hari-hari sebelumnya sudah gencar promo. Seperti tadi, ide ini ibarat gula. Akhirnya, datanglah banyak semut. Banyak sekali sehingga semua saling berpromosi. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, peluncuran itu nyatanya tidak ada. Padahal, kata kuncinya adalah paling lambat, bukan paling cepat. Ada apa? Sekali lagi, ada apa?
Saya sih tak tahu keribetan dalam membuat aplikasi tersebut. Saya hanya tahu bahwa kalau berlomba untuk berpromosi dan memberikan kata kunci “paling lambat”, berarti mereka sudah mempertimbangkan sebelumnya dan sudah tahu risiko. Namun, karena sampai tulisan ini saya buat tak ada tanda-tanda akan launching, saya berpikir ada yang salah.
Salah, misalnya, karena tak tepat janji. Salah juga karena tak memberikan klarifikasi. Entah itu dengan memberikan kalimat sederhana: maaf, karena kesalahan sistem, tenggat waktu itu tak bisa kami penuhi. Kalimat itu saja. Maksudnya, jangan lari begitu saja. Ada dong maunya klarifikasi. Jangan diam seakan tak mau tahu. Itulah artinya bertanggung jawab.
Sebab, bertanggung jawab punya dua arti. Pertama, menyelesaikan janji tepat waktu. Kedua, jika tak bisa tepat waktu, setidaknya memberikan klarifikasi, seperti mohon maaf. Kalau begini, tanpa berita, orang jadi menaruh pikiran buruk pada Ompung Luhut. Padahal, beliau sudah melakukan banyak hal. Masakan sih kita mempermalukan beliau di kampungnya sendiri?
Saya sebut begitu karena Ompung Luhut tak salah. Benar-benar tak salah. Ia sudah memberi perintah. Tegas dan dari kampungnya lagi. Tak salah juga karena tak mungkin tugas Ompung Luhut untuk membuat aplikasinya. Tugas ini milik para teknisi di lapangan dan mungkin setingkat di atasnya.
Nah, kepada mereka-mereka inilah tulisan ini menjadi sasaran saya: mengapa tega kali pada Ompung Luhut? Di usia tuanya? Di kampungnya? Di sekolah terhormatnya?
Ompung Luhut mungkin tak akan marah karena dibohongi seperti ini. Beliau tak serendahan itu. Tetapi, sebagai orang yang sempat berharap, apakah menurut kalian warga tak kecewa lantaran kini sudah tanggal 18?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang