Porsea, NINNA.ID– Mastalina Napitupulu (47) tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam hitungan bulan. Dari sibuk mengolah keripik ubi bersama suami, kini ia tekun menenun helai demi helai kain songket—sendirian.
Semua berawal dari kisah sederhana, lalu berubah menjadi kisah penuh perjuangan, cinta, dan kehilangan.
Pada 2021, Mastalina dan suaminya, Agus Samosir, memulai usaha keripik ubi. Untuk menopang usaha itu, mereka mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp30 juta dari BRI.
“Bisa punya rumah seperti sekarang ya dari hasil kerja keras kami berdua usaha keripik Ubi” kenang Mastalina saat menceritakan kembali kenangan bersama suaminya pada Selasa 8 April kepada NINNA.
Usaha keripik ubi itu memang menjanjikan. Awal dari mulai buka usaha produksi, produknya yang bernama Keripik Dosroha mencapai produksi 300kg per bulan. Belakangan mencapai 2 ton per bulan.
“Aku punya pekerja, termasuk anggota keluarga sendiri suami dan anak perempuanku Febe Yemima Samosir. Aku bayar upah pekerja sebulan Rp1.200.000 per orang. Capeknya bisnis keripik ubi ini aduh, enggak ketolongan,” ujar wanita yang memiliki dua orang anak ini.
Produksi dilakukan tiga kali seminggu, dari menggoreng di hari Senin, membungkus di hari Selasa, dan seterusnya.
“Kalau sudah mengggoreng, harus diselesaikan hari itu juga. Enggak bisa ditinggal.”

Namun, di tengah kepadatan produksi, mereka menambah usaha baru—budidaya ikan dan beternak bebek.
KUR kembali diajukan dan dinaikkan menjadi Rp50 juta pada Januari 2024 untuk mendukung usaha baru.
Sayangnya, usaha ikan tidak berkembang. Air kolam yang dingin dan tidak mengalir membuat budidaya ikan mujahir gagal panen.
“Harusnya panen umur 3 bulan, ini 5 bulan pun belum bisa dijual. Cuma dapat 41 kilo dari yang seharusnya ratusan.”
Ketika mereka beralih ke ikan lele, masalah baru muncul. Lele tidak disortir, yang besar memakan yang kecil.
Saat dikuras, hanya tersisa lele-lele raksasa seberat 5 kg per ekor.
Pada tahun 2023, sang suami jatuh sakit. Mastalina mulai berpikir untuk berhenti dari semua usaha fisik yang menguras tenaga.
Agus mendukung penuh keputusan istrinya untuk beralih ke tenun songket. Namun situasi berkata lain. Tak lama kemudian, Agus meninggal dunia.
“Sempat terpikir, kalau dia meninggal dan aku masih terus urus keripik, aku enggak tahu lagi bagaimana jadinya aku,” ujar Mastalina lirih.
Berbekal kemampuan tenun yang baru ia pelajari selama enam bulan, Mastalina mulai mengisi hari-harinya di depan alat tenun.
Pendapatannya tidak sebesar dulu, tapi cukup membuat hidup terasa tenang. Dalam seminggu, setidaknya satu Songket mampu ia hasilkan. Paling cepat dalam kurun empat hari ia mampu menghasilkan satu Songket.
“Lumayan juga untuk satu Songket aku bisa dapat 800ribu hingga satu juta. Tapi aku enggak perlu capek seperti dulu ngurusi usaha keripik. Begitu Songket selesai, aku serahkan ke Toke”
Setelah kepergian suaminya, tanggungan KUR masih tersisa. “Itulah satu keadaan yang aku tangiskan. Dia meninggalkan hutang, bagaimana lah ini?”
Tapi rupanya, sebagai perangkat desa di Desa Sigumpar Porsea, sang suami terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Klaim asuransi senilai Rp42 juta cair di Januari 2025.
“Harusnya KUR itu lunasnya 2026. Tapi aku lunaskan saja Januari itu. Ngapain mikir-mikir lagi, biar hidup apa adanya tapi enggak punya hutang,” ujarnya mantap.
Total yang ia bayarkan hanya Rp40 juta—tanpa bunga berjalan.
Sisa dari asuransi ia gunakan untuk melanjutkan hidup bersama kedua anaknya.
Kini, kolam-kolam ikan dibiarkan kosong.

Kenangan akan suaminya sibuk mengurusi kolam ikan tersisa. Tapi di sudut rumahnya, suara ritmis dari alat tenun terus bergaung.
Mastalina tak lagi harus menjadi Wonder Woman yang berlari dari dapur ke pasar. Ia memilih diam, menenun kisah hidupnya yang baru—dengan benang yang lebih tenang, tapi tetap kuat.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga