Menilik Usaha Batu Bata di Desa Sigaol Marbun Pulau Samosir

Samosir, NINNA.ID-Di Desa Sigaol Marbun, sebuah desa sederhana di Samosir, hidup Ranto Marbun (49) bersama istrinya, Santiana Sidabutar (49), dan tiga anak mereka: Reinhard (SMP kelas 3), Raisa (SMP kelas 1), dan Radit (SD kelas 4).

Keluarga ini menjalankan usaha batu bata yang sudah diwariskan sejak 2010, sebuah pekerjaan yang membutuhkan tenaga, ketekunan, dan strategi keuangan yang cermat.

Perjalanan usaha Ranto tak lepas dari dukungan pinjaman BRI, yang berawal dari orang tuanya, Togaraja Marbun.

Empat tahun lalu, pinjaman pertama senilai Rp 15 juBRI ta berhasil dilunasi dalam tiga tahun.

BERSPONSOR

Berkat rekam jejak baik ini, Ranto melanjutkan pinjaman atas namanya sendiri pada 2023, sebesar Rp 50 juta untuk tenor tiga tahun dengan cicilan Rp 1,554 juta per bulan.

“Karena pinjaman orang tua lancar, pegawai BRI marga Siahaan dari BRI Kantor Unit Nainggolan, langsung mempercayakan pinjaman itu ke saya,” kata Ranto. Menariknya, pinjaman kedua ini tak lagi membutuhkan agunan baru.

Pinjaman untuk Memutar Roda Usaha

Dana tersebut digunakan untuk mengembangkan usaha batu bata: membeli tanah liat untuk cetakan, kayu somel, serta kebutuhan produksi lainnya.

BERSPONSOR
BATU BATA RANTO MARBUN2
Tanah liat salah satu bahan yang dibutuhkan untuk membuat batu bata(foto: Damayanti)

“Modal ini buat beli bahan. Setelah habis ya memang aset gak langsung bertambah signifikan, yang paling penting saya ingatkan diri saya  jangan sampai nunggak,” ujar Santiana Marbun, sang istri yang juga turut mendukung usaha batu bata ini.

Tumpukan Batu Bata Basah
Tumpukan Batu Bata Basah milik Ranto Marbun (foto: Damayanti)

Sebelum meminjam, mereka bekerja sendiri. Namun, dengan tambahan modal, mereka mulai mempekerjakan parkarejo — istilah lokal untuk pekerja harian.

Sebanyak 12 hari dalam sebulan, satu orang parkarejo — yang biasanya para tetangga laki-laki sekitar — mendapat upah Rp 100 ribu per hari.

Proses Panjang di Balik Batu Bata

- Advertisement -

Memproduksi batu bata bukan perkara mudah. Dalam sehari, Ranto dan anggota keluarga bisa mencetak 2.000 bata. Butuh waktu sekitar 24 hari kerja untuk mengumpulkan 50.000 batu bata, jumlah minimal untuk sekali pengiriman.

kayu somel
Kayu Somel salah satu bahan yang dibutuhkan untuk membakar batu bata supaya keras(foto: Damayanti)

Jika ia memakai parkarejo dalam sehari ia bisa mencetak 4.000 batu bata.

“Prosesnya panjang. Bukan langsung sebulan jadi 50.000 bata,” jelas Ranto.

TERKAIT  Ada Banyak Agenda Ekonomi Penting Dalam Sepekan, Rupiah Dan IHSG Melemah

Setelah dicetak, bata basah harus dijemur. Waktu pengeringan bergantung pada cuaca: musim kemarau bisa seminggu, tetapi jika hujan gerimis terus-menerus, proses bisa tertunda hingga sebulan.

Setelah kering, batu bata dibakar hingga matang — proses melelahkan yang menjadi rutinitas Ranto dan pekerjanya.

Pasar dan Prospek Usaha

Menariknya, pasar utama batu bata Ranto bukanlah sekitar Samosir, melainkan Aceh. Truk-truk dari Aceh rutin datang untuk menjemput pesanan, dengan kapasitas angkut 10.000 hingga 15.000 bata sekali jalan.

“Kualitas bata di sini lebih bagus. Kalau di tempat lain misalnya di Pakam ada juga, tapi cukup rapuh,” kata seorang supir truk dari Aceh yang mengangkut batu bata dari usaha milik Ranto Marbun.

Harga batu bata bervariasi: bata merah yang sudah dibakar dihargai Rp 400 per biji, sementara bata mentah — yang dijual jika ada kebutuhan uang mendesak — seharga Rp 200.

Biasanya, permintaan meningkat sekitar bulan September, tetapi menurun drastis pada Desember, ketika orang lebih fokus pada pengeluaran sekolah dan liburan.

Rencana ke Depan: Rehat Sejenak

Pinjaman Rp 50 juta ini rencananya akan lunas pada 2026. Ketika ditanya apakah ada niat untuk mengajukan pinjaman baru setelah itu, Ranto mengaku belum punya rencana.

“Kami mau istirahat dulu. Nanti kalau ada kebutuhan mendesak, baru dipikirkan lagi,” ujarnya.

Meski keuntungan dari usaha batu bata terbilang minim, Ranto dan keluarga tetap bertahan. Separuh penghasilan mereka berasal dari batu bata, sementara sisanya dari bertani — menanam jagung dan menggarap sawah.

Kisah Ranto Marbun adalah potret perjuangan keluarga sederhana yang bertahan dengan ketekunan dan dukungan finansial yang tepat.

Pinjaman BRI tidak hanya membantu modal usaha, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi tetangga sekitar.

Di tengah cuaca yang tak menentu dan permintaan yang fluktuatif, batu bata Ranto tetap dicetak, dijemur, dan dibakar — menjadi saksi bisu semangat keluarga ini dalam menjalankan roda kehidupan.

Semangat Ranto Marbun yang pantang menyerah membuatnya tampil beda dari banyak pengusaha batu bata lainnya di Desa Sigaol Marbun, Samosir.

Penulis/Editor: Damayanti

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU