NINNA.ID – Rasa penasaran ini berawal dari magnet yang biasa jadi hiasan di pintu kulkas. Benda itu berupa ukiran kayu souvenir dari tanah Batak yang disebut Gorga. Bentuknya yang menurut saya sangat artistik, mendorong niat kuat untuk melihat langsung bagaimana Gorga dibuat. Akhirnya, di tahun 2021, kesempatan itu datang saat untuk pertama kalinya melihat Danau Toba.
Sepanjang perjalanan di kawasan Danau Toba, Gorga sudah terlihat. Puncaknya, saat tiba di museum Batak TB Silalahi di Kota Balige. Di sini, tidak hanya melihat dari dekat Gorga asli, tapi hampir semua ragam budaya Batak, bahkan dari sejarah sampai pernah-pernik tentang Batak Toba saya dapatkan.
Rumah adat Batak Toba pun ada di bagian belakang sisi kiri museum TB Silalahi. Setidaknya ada 7-8 rumah adat Batak dengan ukuran yang sesungguhnya sumbangan dari beberapa marga sebagai sarana edukasi. Yang teringat oleh saya sampai sekarang adalah, konstruksi rumah model panggung ini hampir semua penopangnya/pondasi berbentuk tanpa sudut (bulat) untuk mencegah hama tikus untuk masuk kedalam rumah. Keren kan?
Museum TB Silalahi ketika itu menjadi tempat berlangsungnya International Conference Heritage of Toba 2021. Konferensi 1 hari yang membahas keunggulan dan keragaman wisata Toba, dan faktor apa saja yang kedepannya bisa merusak keindahan Danau Toba.
Narasumber yang hadir dari berbagai kalangan dan profesi, dari seniman sampai akademisi. Semua sumbang saran untuk kemajuan wisata Toba, Seorang kepala daerah berseru lantang.
“Jangan kita berpecah-pecah, kita harus bersatu jika ingin wisata Danau Toba makin dikenal dunia”.
Viki Sianipar, musisi yang menjadi narasumber hari itu memberi saran, mengenalkan budaya Batak ke anak muda adalah pekerjaan yang tidak mudah. Jadi harus dibalut dengan nuansa kekinian ketimbang memaksakan agar diterima anak-anak muda.
“Melalui musik saya coba perkenalkan budaya ke anak muda, sampai pernah ada anak muda yang mendengar arransemen musik saya lalu akhirnya mencari tahu mengenai budaya Batak, tanah leluhurnya kepada orang tua mereka, hal yang selama ini mereka abaikan”. Ujar Viki.
Masalah penerus kebudayaan memang jadi pekerjaan rumah bagi kita semua, tidak hanya di Toba. Contoh, berapa banyak pemuda jawa yang berniat melestarikan atau setidaknya memahami budaya mereka? Ada, tapi tidak banyak.
Kalau boleh jujur, jika hanya mengandalkan kekayaan alam dan kuliner apa yang membedakan wisata Toba dengan destinasi lainnya? Bali punya keindahan alam yang luar biasa, daerah Jawa punya kuliner yang beragam, lalu apa yang membedakan?
Saya berkesempatan untuk berbincang dengan Ibu Ir.Rizky Handayani Mustafa, MBTM Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan (event) Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang di dampingi oleh ibu Masruroh, S.sos., MAB sebagai Direktur Wisata Pertemuan Insentif, Konvensi dan Pameran Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan (event).
Dia banyak bercerita mengenai harapannya terhadap wisata Danau Toba. Destinasi Super Prioritas (DSP) Danau Toba nantinya akan dikembangkan dengan mengedepankan konsep pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan berbasis alam dan budaya. Tidak hanya menjual keindahan alam tapi pelestarian alam. Tidak hanya melihat kafe atau restoran modern tapi lebih ke pengenalan budaya melalui kekuatan story telling masyarakat Toba yang gemar berkomunikasi.
Tidak heran kalau rute perjalan kami di Danau Toba diatur sedemikian rupa agar bisa merasakan pariwisata yang ramah lingkungan dan kaya akan histori kebudayaan Danau Toba.
Taman Eden 100
Siapa sangka lahan konservasi yang sangat luas, rimbun dengan pohon tinggi, hijau karena beraneka tanaman dan sering menjadi saran edukasi para peniliti lingkungan ini adalah milik pribadi atau perorangan yang peduli akan kelestarian lingkungan di Danau Toba.
Marandus Sirait, pendiri Taman Eden 100 bercerita mengenai asal usul penamaan Taman Eden 100.
“Taman Eden adalah sebuah taman di mana manusia, tumbuhan, hewan hidup saling berdampingan. Sementara 100 adalah jumlah jenis tanaman awal yang ada di taman Eden ini,” Ujar Marandus Sirait.
“Kalau sekarang, kemungkinan besar jumlahnya lebih dari 100 jenis tanaman, salah satunya tanaman endemik Danau Toba yaitu Andaliman”.
Marandus Sirait beberapa kali mendapat penghargaan di bidang pelestarian lingkungan dari pemerintah, lucunya beberapa medali yang diperoleh dari penghargaan itu dijual untuk membeli bibit tanaman.
“Kalo hanya medali buat apa? Tidak berguna bagi lingkungan. Dan yang jadi pertanyaan kenapa atlit jika juara dapat apresiasi uang tunai dengan jumlah yang cukup banyak, sedangkan para pelestari lingkungan tidak? Marandus tertawa lepas saat mengutarakan fakta tersebut ketika berbincang dengan kami.
Di Taman Eden 100, selain bisa melihat Andaliman, tanaman endemik yang hanya bisa tumbuh di wilayah Toba, kita juga bisa menikmati air terjun dengan air yang sangat jernih dan bisa diminum langsung tanpa harus dimasak terlebih dahulu.
Jika sudah lelah berkeliling, kita bisa rehat sejenak di kedai kopi tengah hutan. Kita bisa menikmati pisang goreng hangat dan kopi panas ditemani suara gesekan daun yang ditiup angin lembah di siang hari.
Di Taman Eden 100 ini, saya menanam bibit Andaliman yang saya beri nama Dahayu Hadiya Raji, mendiang jagoan kecil kami. Tumbuh dan berkembang di Toba ya Day, semoga ayah dan ibu bisa main ke Taman Eden 100.
Mencari Asal Usul Silalahi di Desa Silalahi
Perjalan kami di Toba kembali berlanjut, tujuan berikutnya adalah Desa Silalahi. Kalau selama beberapa hari ini kami hanya bisa melihat Danau Toba dari kejauhan, di Desa Silahi kami bisa melihat sangat dekat kehidupan masyarakat pesisir Danau Toba.
Sebuah pemandangan yang jarang saya lihat. Di pagi hari, 2 orang nelayan melempar jaring di air yang tenang di tengah Danau Toba. Mendayung pelan tapi pasti seakan sudah ada jalur untuk sampan nelayan menuju kearah yang dia mau.
Kalau saja ikan nila goreng tadi malam itu berasal dari nelayan pesisir Danau Toba, maka tidak heran kalau rasa ikannya segar terlebih dipadu sambal andaliman khas dari Toba yang segar karena diracik dengan jeruk nipis.
Di desa Silalahi ada makam Raja Silahisabungan dan sebuah tugu besar yang disekelilingnya bercerita mengenai sejarah marga Silalahi.
Jujur saya kagum dengan masyarakat sekitar yang menjaga sejarah silsilah keluarga, di muslim, kami menyebutnya nasab atau silsilah keturunan. Saya yakin tujuan mendirikan tugu tersebut agar generasi penerusnya bisa dengan mudah mempelajari. Selain tugu, mereka juga mempunyai buku mengenai silsilah yang hanya dipegang oleh beberapa orang.
Di tangan mereka (orang-orang yang peduli) silsilah keluarga akan tetap terjaga, sehingga kebudayaan tidak akan hilang atau lekang ditelan jaman. Mengitari Danau Toba yang menggabungkan 8 kabupaten bukan hal yang mudah, tapi sangat bisa dilakukan. Kalau kalian pecinta road trip, pasti akan terkesima dengan keindahan alam Danau Toba yang beraneka ragam.
Danau Toba punya banyak potensi wisata, tidak hanya melihat danau sisa kaldera letusan gunung Toba Purba, tapi juga kekayaan budaya serta keramahan penduduknya. Ramah? Hmmmm ya ramah, walau logatnya intonasinya terdengar tinggi saat berbicara, terlebih ditelinga orang jawa seperti saya, tapi masyarakat Toba atau lebih umumnya masyarakat Sumatera Utara merupakan orang-orang yang ramah, kultur Timur yang harus dibanggakan oleh kita semua sebagai orang Indonesia.
Penulis : Satto Raji
Editor : Mahadi Sitanggang
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com : https://www.kompasiana.com/s_rachmawan/61da964f06310e2da255b622/menikmati-surga-mempelajari-silsilah-di-danau-toba