Mengungkap Penyebab Banjir Bandang di Parapat

Parapat, NINNA.ID-Kota Parapat kembali dilanda banjir bandang yang memorak-porandakan permukiman warga, menghancurkan infrastruktur, dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Untuk mencari tahu penyebab di balik bencana ini, sekelompok akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak membentuk Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat.

Mereka melakukan investigasi langsung ke titik longsor di kawasan Simarbalatuk-Sitahoan-Sibatuloting.

Menelusuri Aliran Bencana

Ekspedisi dimulai dari harangan (hutan) Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga yang menjadi jalur utama banjir menuju Parapat.

Sepanjang perjalanan, tim menemukan bahwa masyarakat sekitar masih menerapkan sistem perladangan agroforestri, dengan tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, dan salak yang tetap berdampingan dengan pohon alam.

Namun, kondisi lebih serius terungkap ketika tim mencapai kawasan Simarbalatuk.

Di ketinggian 1.100 hingga 1.500 meter di atas permukaan laut, tim menemukan titik longsor dengan panjang sekitar 300-400 meter dan lebar 4-5 meter.

BERSPONSOR
PENYEBAB BANJIR PARAPAT
Tim ekspedisi menelusuri aliran longsor (Foto©KSSPM)

Material longsor berupa batu besar dan kecil bercampur tanah liat serta kayu-kayu tumbang yang berpotensi membentuk bendungan alami di sepanjang aliran sungai. Jika tidak segera ditangani, material ini dapat memicu banjir bandang berikutnya.

Lebih lanjut, tim mencatat bahwa titik longsor hanya berjarak sekitar 2,33 km dari konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dampak industri terhadap degradasi lingkungan di kawasan tersebut.

Apa yang Menyebabkan Longsor?

Investigasi tim ekspedisi diperkuat oleh hasil riset KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU yang dilakukan beberapa hari sebelumnya.

- Advertisement -
PENYEBAB BANJIR PARAPAT
Jarak antara jembatan sungai batu gaga dengan titik longsor sampai ke konsesi PT TPL

Dalam kurun waktu 2000-2023, kawasan hutan alam di lima kecamatan sekitar Parapat mengalami penurunan drastis seluas 6.503 hektar. Ironisnya, area yang sama berubah menjadi perkebunan eukaliptus milik PT TPL.

Perubahan ini memperlemah daya dukung lingkungan di kawasan Sitahoan-Sibatuloting.

Hilangnya hutan alam yang berfungsi sebagai penahan air membuat daerah ini lebih rentan terhadap longsor, terutama saat curah hujan tinggi. Kombinasi antara deforestasi, hilangnya habitat alami, dan perubahan iklim semakin memperparah kondisi ini.

Akibatnya, bentang alam yang sebelumnya mampu menyerap air hujan kini berubah menjadi pemicu bencana.

TERKAIT  Aih! Amelia Bikin Pengakuan Pernah Difoto Sexy Tanpa Sehelai Benang di Tubuh

Dampak dan Ancaman Bencana Susulan

Banjir bandang bukanlah peristiwa baru di Parapat. Sebelumnya, bencana serupa terjadi pada 2021.

Kejadian berulang ini menandakan bahwa ada masalah sistemik dalam pengelolaan ekosistem Kawasan Danau Toba.

Jika eksploitasi hutan terus berlanjut, bukan tidak mungkin banjir bandang dengan skala lebih besar akan terjadi di masa depan.

Tim ekspedisi juga mengingatkan bahwa material longsor yang masih tersangkut di sepanjang jalur sungai berpotensi menimbulkan bencana susulan.

Kayu-kayu tumbang yang melintang di aliran sungai bisa membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu bisa jebol dan memicu banjir mendadak.

Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan

Untuk mencegah bencana lebih lanjut, Tim Ekspedisi mengajukan beberapa rekomendasi:

  1. Pembersihan Material Longsor – Pemerintah harus segera mengirim tim ke lokasi untuk mengevakuasi material longsor sebelum musim hujan berikutnya.
  2. Moratorium Penebangan Hutan – Penghentian sementara eksploitasi hutan alam harus diberlakukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
  3. Restorasi Ekosistem – Kawasan hutan yang telah mengalami degradasi harus segera direboisasi dengan jenis tanaman yang mampu menahan erosi dan menyerap air dengan baik.
  4. Evaluasi Aktivitas Perusahaan – Pemerintah harus meninjau kembali izin usaha PT TPL dan memastikan bahwa aktivitas perusahaan tidak memperburuk kondisi lingkungan.
  5. Pengelolaan Hutan Berkelanjutan – Kebijakan yang lebih ketat dan berbasis konservasi harus diterapkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba.

Tanpa intervensi nyata dari pemerintah dan pemangku kepentingan, bencana seperti ini akan terus berulang.

Kerusakan lingkungan bukan sekadar dampak dari fenomena alam, tetapi lebih dari itu, merupakan akibat dari eksploitasi yang tidak terkendali.

Saatnya pemerintah bertindak tegas untuk melindungi lingkungan dan masyarakat dari ancaman yang semakin nyata ini.

Tim Ekspedisi: Pdt. Jurito Sirait (Pendeta), Dr. Dimpos Manalu (Akademisi), Rocky Pasaribu, Iwan Samosir, Bona, Darma, Susi Halawa, Delima Padang, Lambok, Iwan Pakpahan, Yanwar, Lontas, Maruli, Aris.

Supporting system: Delima Silalahi, Benni, Anugerah, dan Dewi Sirait.

Laporan ini disusun di bawah tanggung jawab KSPPM dan AMAN Tano Batak.

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU