SAMOSIR – Ini adalah perjalanan tahun lalu. Tepatnya Sabtu malam 04 Juli 2020, kami bergerak menuju Batu Marompa, objek wisata yang sedang booming di Tamba Dolok. Bagi masyarakat lokal, Batu Marompa hanya sebongkah batu besar biasa. Samasekali tak menarik perhatian, sehingga banyak tak pernah ke sana.
Malam itu, kami bergerak dari kampung di pundak Pulau Samosir melalui jalur Tele. Beberapa waktu lalu, jalur ini terkenal minus marka jalan tapi saat kami lintasi hingga sekarang, ruas jalan itu sudah dilengkapi rambu lalu lintas memadai.
Kami tiba di Tamba Dolok, Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir sekira pukul 00.04 WIB. Setelah memarkirkan sepeda motor, tak sabar kami bergegas menuju batu itu. Belum beberapa menit melalui jalur yang cukup menantang, tiba-tiba suara lantang seorang pria menegur kami. Belakangan aku tahu bapak itu marga Tamba.
Aku turun, tetap dengan beban dalam ransel yang cukup berat. Berisi logistik tenda dan perlengkapan lainnya.
Aku menyampaikan, bahwa kami ingin menuju Batu Marompa, tempat wisata yang lagi booming itu. Dari nada bicaranya, dia terkesan cukup kesal karena kami datang dini hari. Namun, kesalnya sirna begitu dia tahu aku bermarga Sitanggang. Mungkin karena Sitanggang dan Tamba dalam ruhut orang Batak adalah serumpun, kesalnya tadi hilang. Dia pun berpesan agar menjaga kesopanan dan kebersihan di tempat itu.
Kami melanjutkan perjalanan melewati perladangan kopi masyarakat, dengan medan yang lumayan menantang. Bukannya kesal, tapi kami malah menikmati perjalanan menembus gelap dengan suhu udara semakin dingin. Kami lalu mendirikan tenda, di atas batu berbentuk segi empat dekat Batu Marompa.
Menjaga suhu badan kami tetap normal, sebelum tidur kami mengisi perut dengan bekal seadanya. Mungkin karena sedikit letih, rasanya bertambah nikmat. Sebelum mata terpejam, tak sabar menunggu pagi.
Tak lama, kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan. Kami keluar tenda dan disambut sang fajar. Sinarnya memang belum terasa hangat, tapi berkasnya penuh kehangatan seolah menebar senyum menyambut kami anak-anak Salaon Dolok dari pundak Pulau Samosir.
Kami pun bergegas menuju Batu Marompa untuk menikmati panorama alam Tamba. Benar saja. Dari ujung Batu Marompa, kami mengintip keindahan Danau Toba yang hanya memperlihatkan sedikit sisinya dan Pulau Samosir.
Setelah cukup lama kami di Batu Marompa, aku teringat seseorang bernama Abba Simbolon. Dari dialah aku tertarik ke tempat ini setelah melihat postingan Batu Marompa di media sosialnya, Februari 2018. Sayangnya, aku tak bisa menyapa pagi untuknya dari tempat ini karena selulernya tidak aktif lagi.
Setelah puas menikmati alam dan berselfie-ria di sini, kami harus kembali karena pekerjaan menunggu kami di Pulau Samosir.
Di tengah perjalanan pulang, kami bertemu dengan seorang ibu yang sedang mengambil rempah rempah untuk kebutuhan dapurnya. Setelah bertutur singkat, si ibu bermarga Tamba. Dalam tutur marga, dia adalah namboru (bibi) saya. Maka saat ditawarkan singgah ke rumahnya, kami tak berani menolak.
Namboru itu langsung menyuguhkan kopi, tapi rasa yang asing, tidak seperti rasa kopi. Rasanya lebih mendekati seduhan teh.
“Ito tahu, itu kopi apa?,” tanya si namboru. Aku menggeleng tersenyum.
“Itu bukan teh manis, tetapi itu adalah Kopi Lulus, ” sambung si namboru dan menjelaskan bagaimana membuat kopi lulus.
Kopi lulus itu tidak terbuat dari biji kopi, melainkan berasal dari daun kopi arabika yang dikeringkan dengan arang. Setelah kering, daun kopi diremuk dan diseduh seperti membuat teh manis. Kopinya nikmat, dan sebagai anak negeri yang juga akrab dengan kopi, baru kali ini aku mengetahuinya.
Terimaksih namboru ku yang baik. Satu cangkir kopi lulus-mu melengkapi pejalanan seru kami. Yuk bro dan sista NINNA.ID, sesekali intip keindahan Danau Toba ketika disinari berkas sang fajar dari Batu Maropa.
Penulis : Lifzen Sitanggang
Editor : Mahadi Sitanggang