Aek marjullak jullak ma, marjullak jullak sian batu.
Jullak jullak na i binaen tu tabu tabu.
Hata nauli naung pinasahat mu
Ampuon nami ma hot mar tonga jabu.
TOBA – Bait di atas merupakan umpasa atau perumpamaan yang sering diucapkan saat pagelaran acara adat Batak Toba. Namun tidak banyak yang tahu jika sepotong kata ”tabu tabu” yang terselip pada kalimat itu merujuk pada buah tanaman merambat sejenis Labu (lagenaria siceraria).
Labu jenis ini sudah termasuk langka sehingga generasi muda sekarang tidak banyak lagi yang mengenalnya. Kalaupun ada yang mengenal mungkin hanya kenal buahnya saja namun tidak mengenal pohonnya.
Dahulu kala, buah tanaman ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Saat masih muda, buah labu sering dimasak untuk dimakan, sebagaimana mengonsumsi ubi kayu. Mengonsumsi buah ini juga diyakini dapat mengobati beberapa penyakit tertentu.
Jika buah ini sudah tua, bagian luarnya akan mengeras saat dikeringkan. Prosesnya, bagian dalam buah yang sudah cukup tua ini dikeluarkan lalu dikeringkan. Setelah cukup kering maka buah ini dibersihkan untuk dapat digunakan sebagai tempat minum, gayung air dan lain sebagainya.
Bukan hanya di tanah Batak saja, di negara Tiongkok, buah ini dahulu sudah digunakan sebagai tempat minum. Jika anda pecinta film silat, tentu sudah tidak asing lagi dengan tokoh Drunken Master, yang menggunakan buah ini sebagai kendi araknya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya tanaman ini sudah sulit untuk dijumpai. Beruntung pemilik Taman Eden 100, yang beralamat di Lumbanrang , Kecamatan Lumbanjulu, Kabupaten Toba, ternyata masih membudidayakan tumbuhan ini.
Salah satu keluarga pemilik taman, yakni Michael Sirait yang dikenal sosok yang cukup kreatif, sudah berkreasi dengan buah ini.
Di tangan Michael, buah labu ini disulap menjadi karya kreatif seperti aksesoris lampu hias dan tempat air minum (kendi labu). Lampu hias dari buah labu ini ternyata cukup diminati oleh pengunjung dari kalangan menengah ke atas.
Michael membandrol karyanya itu di angka Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per buah. Mahal? Tidak. Buktinya, galeri selalu kekurangan stok. Padahal dulu, di awal membudidayakan tumbuhan ini, sering buahnya terbuang begitu saja.

“Setelah buah labu ini menjadi salah satu karya kreatif dan diminati banyak traveler, buah ini malah semakin langka. Apalagi akhir-akhir ini, pohonnya juga mulai diserang penyakit,” kata Michael kepada NINNA.ID baru-baru ini.
Selain karena dahulu cangkir atau gelas masih sulit ditemukan, ternyata ada alasan lain mengapa para leluhur menggunakan buah labu ini sebagai tempat minum. Kendi buah labu ini diyakini mampu meredam aura negatif yang muncul dari sekitar. Kesegaran air di dalam kendi juga terjaga. Begitu bro dan sista NINNA, kini anda tahu.
Penulis : Asmon Pardede
Editor : Mahadi Sitanggang