TAPUT – Sisi budaya etnis Batak Toba selalu memiliki daya tarik tersendiri untuk dikulik. Kali ini, keberadaan keranda Roto sebagai kendaraan mayat menuju tanah pemakamannya diungkap oleh tokoh masyarakat, yang juga kepala desa di Kecamatan Garoga, Kabupaten Tapanuli Utara.
“Sejak dahulu, setiap orang meninggal dengan sematan ‘saur matua’ hingga ‘saur mauli bulung’ akan diberangkatkan mengendarai Roto menuju tanah pemakaman,” ungkap Kepala Desa Gonting Garoga, Kecamatan Garoga, Bedman Pasaribu, Senin (31/10/2022).
Disebutkan, keranda Roto merupakan kendaraan dari kayu yang memiliki empat buah roda yang juga terbuat dari kayu dan berfungsi sebagai kereta jenazah untuk membawa jasad orang meninggal menuju lokasi pekuburan.
Penggunaan Roto hanya diperbolehkan bagi orang tua yang meninggal dengan status “saur mauli bulung” atau sebutan bagi orang tua yang keseluruhan anaknya telah menikah hingga memiliki cucu, dan cicit atau dalam istilah Batak “marnini marnono”.
Juga bagi orang tua yang meninggal dengan status “saur matua” atau sebutan bagi orang tua yang keseluruhan anaknya telah menikah atau dalam istilah batak “marhasohotan”, sebelum dirinya meninggal dunia.
Kereta Roto dibentuk menyerupai rumah adat Batak Toba dengan puncak depan dan bagian belakang bernilai khusus sebagai sematan identitas. Roto berdindingkan lapisan kain ulos pemberian warga yang mengasihi mendiang.
Kata Bedman yang didampingi Kepala Desa Sibaganding Garoga, Bungaran Pasaribu, terdapat tujuh jenis Roto, yang diawali secara berurut dari Roto Gobak, Roto Hodong, Roto Payung, Roto Kiet, Roto Pane, Roto Godang, dan terakhir Roto Gaja Luppat.
Dikatakan, Roto Gaja Luppat memiliki nilai tertinggi yang diberikan kepada ‘Raja Huta’ atau Sipukka Huta. Sementara, Roto Godang menjadi roto tertinggi bagi ‘Boru Huta’.
“Penggunaan Roto harus diawali dari Roto Gobak dan kemudian dilanjutkan secara bertahap untuk Roto lainnya bagi setiap keturunannya. Artinya, tidak boleh langsung melompat tanpa mengawali penggunaan roto awal,” jelasnya.
Semisal penggunaan Roto Godang tidak boleh dilakukan tanpa melalui Roto Gobak dan tahapannya yang telah lebih dahulu dipergunakan oleh pendahulu si mendiang.
“Tarida ma parboanan na sian roto na (akan terlihat statusnya dari roto yang digunakan), karena selain jenis rotonya, di bagian depan roto juga ada semacam identitas yang disematkan,” urainya.
Imbuh Bungaran Pasaribu, di wilayahnya dikenal tiga tingkatan orang meninggal, yakni sari matua, saur matua, dan tertinggi saur mauli bulung.
Setiap kegiatan acara adat akan diawali dari pertemuan warga mulai dari Boru Huta hingga Raja Huta dalam “Tonggo Raja”, di mana pada kesempatan itu akan ditunjuk sejumlah orang menjadi tukang atau “sipature inganan” berupa roto dan peti mati.
Dalam prosesi adat, orang meninggal akan dimasukkan ke dalam peti mati yang disebut “moppo”. Dilanjutkan dengan acara “maralaman” atau “marsisulu ari”. Inilah waktunya jenazah orang meninggal dikeluarkan dari rumah menuju halaman rumah.
Selanjutnya, seusai acara adat, peti mati dimasukkan ke dalam roto untuk selanjutnya digiring ke depan dan ke belakang masing-masing tujuh kali untuk kemudian digiring tanpa perhentian menuju lokasi pemakaman.
Setibanya di lokasi pemakaman, peti mati akan dikeluarkan dari dalam roto untuk dikuburkan. Segala kain ulos yang tadinya menutupi roto akan dibawa kembali oleh pihak keluarga, dan roto akan ditinggalkan di tempat pemakaman.
Penulis : Rollis
Editor : Mahadi Sitanggang