NINNA.ID – Kembali saya teringat pada peristiwa tahun lalu. Saat itu, setelah mengikuti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia mewakili Sumatera Utara, secara khusus mewakili Humbang Hasundutan, Oppung Saut Poltak Tambunan mengajak saya untuk ikut jadi pembicara mewakili generasi milenial untuk membahas pentalogi “Situmoing” yang memang berbahasa Batak.
Novel ini istimewa. Istimewa karena saat ini sangat jarang sebuah karya berbahasa Batak. Karena itu, kita pantas berterima kasih kepada Oppung Saut Poltak Tambunan. Baiklah, sampai di sini, saya pikir sudah jelas bahwa topik kita kali ini adalah membahas bagaimana, ya, cara kita agar bahasa Batak tidak tertinggal, lalu dilupakan, dan akhirnya punah begitu saja?
Mungkin, pembaca akan mengira bahwa tulisan ini penuh dengan ketakutan dan fobia berlebihan. Mana mungkin bahasa Batak akan punah? Asumsinya sederhana: selama masih ada orang Batak, maka bahasa Batak tak akan punah. Tetapi, asumsi itu sangat keliru. Buktinya, banyak bahasa daerah yang sudah punah meski masih ada ras pemilik bahasa itu. Bahasa besar yang berada di ambang kepunahan pun ada.
Bahasa Latin, misalnya. Saat ini, bahasa Latin tak banyak lagi dibahasakan sebagai bahasa sesehari, kecuali oleh bahasa ilmiah atau bahasa-misa oleh Vatikan. Bahasa Latin saja mulai mengalami tren penurunan. Konon lagi bahasa Batak yang bukan apa-apa? Jadi, saya rasa kita sudah sepakat bahwa ketakutan pada punahnya bahasa Batak bukanlah fobia yang berlebihan.
Oh, iya, penyelenggara kegiatan saat itu adalah Badan Pelestari Nilai Budaya-Aceh (BPNB-Aceh). Saya tak tahu apakah akan ada program yang identik atau tidak di masa dekat. Tetapi, secara khusus, saya mengapresiasi betul kegiatan ini. Bagi saya, apa yang BPNB-Aceh lakukan sangat kontekstual dan aktual untuk wilayah kawasan Danau Toba. Karena itu, butuh langkah-langkah teknis sebagai langkah lanjutan.
Pertama yang harus diingat tadi adalah bahwa bahasa Batak juga bisa punah. Kepunahan bahasa tak tergantung genealogis. Banyak orang Batak, tapi kalau tak mau berbahasa Batak, maka lama-lama bahasa Batak itu akan punah juga, bukan?
Faktanya sekarang anak generasi muda justru malu berbahasa Batak. Bahasa Batak kita artikan sebagai bahasa kaum tertinggal.
Tak hanya bahasa Batak. Di ibu kota kita, di Jakarta, generasi mudah sudah sangat banyak yang tak tahu menulis karya ilmiah dalam bahasa Indonesia, tetapi mahir dalam bahasa Inggris. Dari sini rasanya kita sudah perlu sepakat bahwa kemungkinan bahasa Batak bisa punah sudah semakin besar. Karena itu, perlu rencana terstruktur: dari yang sekadar gampang hingga yang cakupannya lebih ilmiah agar bahasa Batak tak punah.
Pertama, pemerintah perlu membuat pelajaran muatan lokal dengan topik bahasan adalah bahasa daerah. Di suatu malam, Pak Lukas Partanda Koestoro bersama istrinya yang kini jadi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) di Kota Medan, Ritha Setianingsih, mengatakan bahwa orang Jawa itu sangat setia dengan bahasa daerahnya. Saya sepertinya setuju. Pemimpin dan tokoh besar suku Jawa memang sering menggunakan bahasa daerahnya. Kita justru seperti terbalik.
Karena itu, perlu mata pelajaran bahasa daerah, tepatnya bahasa Batak di tanah kita. Hal yang harus dipahami adalah bahwa jika tak dipelajari, maka mungkin kita tak akan tahu lagi. Dalam hal ini, tentu akan muncul masalah baru: buku pelajaran panduan belum ada. Dan inilah yang saat ini masih menjadi bagian dari mimpi saya, yaitu perlunya dibuat semacam EYD (sekarang disebut: PUEBI – Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), untuk bahasa Batak.
Artinya, kita harus memuliakan bahasa Batak secara teori, sebagai ilmu dan secara bahasa percakapan sebagai keterampilan. Sudah perlu kita buat pelajaran tata bahasa Batak, mulai dari kata dasar, kata serapan, kata berimbuhan, ungkapan, umpasa, hingga aksara. Itu sebagai sebuah ilmu bahasa, tepatnya bahasa Batak. Berarti, sudah harus ada buku panduannya. Membuat buku panduan ini sebenarnya gampang-gampang susah. Disebut gampang karena tidak susah. Disebut susah karena tak gampang.
Sisi gampangnya begini. Pasti masih banyak sarjana atau budayawan kita yang melek tata bahasa Batak atau setidaknya tata bahasa Indonesia untuk dicangkokkan ke tata bahasa Batak. Ada, misalnya, Thompson Hs. Beliau ini boleh dikatakan tak lagi sebatas penutur biasa. Beliau adalah juga profesionalisme, bahkan bertaraf nasional. Mungkin, ia dan teman-temannya bisa dimintai bantuan atau tanggung jawab untuk membuat buku panduan khusus terkait pelajaran bahasa Batak. Itu sisi gampangnya.
Sisi sulitnya adalah belum adanya niat sistematis dari pihak yang punya kuasa. Bagaimanapun, jika pihak yang punya kuasa tak memberi wewenang dan materi, maka pembuatan buku itu hanya berhenti di dunia cita-cita. Sederhana argumennya. Untuk apa, misalnya, saya membuat buku panduan bahasa Batak jika tak ada pembaca? Buku panduan bahasa Indonesia saja diabaikan meski sudah melimpah di dunia dalam jaringan. Jadi, meski dibuat buku bahasa Batak, maka pasti akan minim pembelinya, bukan?
Itu satu soal. Soal lainnya adalah tentang kewenangan. Andai pemerintah daerah bijaksana untuk membuat kurikulum tambahan agar mata pelajaran bahasa daerah masuk, maka akan ada niat untuk membuat buku panduan. Sampai di sini kita sudah tahu apa arti gampang, apa arti susah. Ini sebenarnya tergantung visi dan ambisi. Apakah ada visi kita menjadikan bahasa Batak itu sebagai ilmu sekaligus ambisi agar bahasa Batak itu menjadi lebih berharga?
Semoga setelah membaca ini, pihak punya kuasa di Kawasan Danau Toba (KDT) ini bisa bersinergi. Rasanya tak perlu dana miliaran rupiah untuk sebuah sinergi. Apalagi kalau pihak punya kuasa di KDT bisa berkolaborasi dengan kementerian yang punya tugas khusus dalam menjaga nilai-nilai budaya. Tetapi, umumnya begitulah yang terjadi. Meski tak butuh banyak dana, karena tak punya misi dan ambisi tentang daerahnya, maka yang sebenarnya gampang dilakukan bisa berubah menjadi sesuatu yang mustahil dilaksanakan.
Baiklah, itu masih soal buku panduan. Berarti, masih sebatas bagaimana bahasa Batak dipandang sebagai ilmu sehingga kedudukannya jadi ilmiah. Sekarang, mari bahas bagaimana bahasa Batak sebagai sebuah keterampilan. Tentu yang pertama adalah bisa ngomong. Namun, bisa ngomong masih normatif. Setingkat di atasnya, bisa membuat puisi dalam bahasa Batak. Lebih tinggi lagi, terampil berbicara di hadapan umum.
Di sinilah kelebihan bahasa Batak. Sebagai sebuah keterampilan, ia sangat aplikatif. Aplikatif maksudnya bisa digunakan sebagai sebuah profesi adat. Maksudnya, bisa menjadi parhata. Parhata sesungguhnya adalah sebuah profesi, bukan? Saya mengkhawatirkan, jika tak ada pengajaran sistematis, baik sebagai pengetahuan maupun sebagai keterampilan, maka ke depan, parhata dalam menyampaikan bahasa adat justru akan menggunakan bahasa Indonesia.
Menyedihkan bukan? Karena itu, kita berharap, pemangku kepentingan yang diberi tugas memimpin daerah ini punya misi dan ambisi. Melalui media ini pula, ninna.id, sebuah media mulia dengan kekhasan budayanya, saya menyambungkan lidah harapan. Semoga saja. Satu kebahagiaan saya, jika esai singkat ini bisa menimbulkan semangat itu, maka saya sudah turut andil meski hanya dalam seruan. Oh, iya, tepat di kalimat ini, kiranya kita sudah tahu jawaban dari judul esai ini, bukan?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang