TOBA – Berbicara tentang makam leluhur, bisa dikatakan masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku yang paling peduli akan jasad ataupun makam para leluhurnya.
Sebagaimana diketahui, Si Raja Batak sebagai manusia pertama (versi tradisi Batak Toba) atau sebagai leluhur orang Batak yang hidup beberapa ratus tahun silam, makamnya masih terawat dengan baik. Pun dengan keturunannya yang sudah terbagi dengan ratusan marga hingga kelompok yang lebih kecil (satu ompung/satu klan), makamnya pasti masih bisa dengan mudah ditemukan.
Sepintas terbayang, jika setiap keturunan si Raja Batak yang sudah meninggal makamnya masih terawat, tentunya Tanah Batak sudah dipenuhi dengan makam? Mungkin untuk mengantisipasi hal yang demikian lah sehingga nenek moyang orang Batak melaksanakan pemindahan tulang belulang leluhurnya yang disebut dengan acara ”Mangongkal Holi”.
Dalam pelaksanaan mangongkal holi ini, suatu klan dari sebuah marga misalnya melakukan penggalian beberapa makam leluhurnya. Selanjutnya tulang belulang para leluhur tersebut dimasukkan kembali ke dalam peti berukuran kecil lalu disatukan kedalam sebuah bangunan dari beton yang disebut Tambak Natimbo atau Batu Na Pir (selanjutnya penulis sebut ”Tugu”).

Tugu itu sendiri bisa menampung hingga ratusan jasad leluhur, baik berupa tulang belulang ataupun hanya berbentuk sekepal tanah.
Disebut hanya berbentuk sekepal tanah, sebab saat penggalian makam leluhur ada kalanya tidak ditemukan lagi tulang belulang secara utuh, sehingga disepakati untuk mengambil sekepal tanah dari bekas makam yang diyakini merupakan tulang belulang yang sudah menyatu dengan tanah.
Bekas penggalian makam tadi biasanya akan ditanami pohon pisang. Selanjutnya lahan bekas makam itu tak ubahnya seperti lahan lainnya yakni tidak berstatus makam lagi.
Proses penggalian tulang belulang leluhur ini tentu tidak boleh dilakukan sembarang. Ada beberapa tahapan adat istiadat Batak yang harus dilalui dan tentunya membutuhkan banyak biaya.
Saat perencanaan acara saja sudah harus mengundang para tetua kampung dan para tokoh adat. Pada pelaksanaan penggalian, keluarga/keturunan yang masih hidup dari pihak istri atau ibu dari garis keluarga almarhum yang ada di dalam makam harus diundang dan hadir untuk menerima tulang belulang dari penggali makam.
Penggalian makam ini bisa berlangsung berhari-hari, tergantung seberapa banyak makam yang akan digali serta tingkat kesulitan dalam menggali.
Biasanya di atas makam orang Batak Toba tumbuh pohon beringin atau pohon ara yang sudah berusia ratusan tahun, sehingga untuk menggali makam dibutuhkan teknik khusus.

Selanjutnya setelah penggalian selesai akan dilaksanakan pesta besar dengan mengundang seluruh tetua kampung sekitar, tokoh adat, handai tolan terutama para keturunan dari seluruh besan/hula-hula yang tulang belulangnya ikut digali dan dimasukkan kedalam tugu.
Pada pelaksanaan pesta akan disembelih seekor kerbau pilihan, dan akan diiringi oleh musik berupa gondang Batak. Para keluarga akan manortor dan bagian tertentu dari kerbau tadi yang disebut ”jambar” diantarkan kepada hula-hula sembari manortor diiringi alunan gondang yang mendayu-dayu.
Jambar yang diletakkan di dalam sebuah nampan besar dijunjung seorang ibu yang mahir manortor dengan junjungan yang cukup berat di atas kepala diikuti oleh seluruh keluarga. Sementara dalam kesempatan berbeda, pihak boru juga manortor dengan membawa serta sejumlah uang yang diatur sedemikian rupa yakni diselipkan pada ranting pohon bambu atau disusun rapi membentuk bunga di dalam piring yang berisikan beras.

Seluruh rangkaian acara dalam pesta/acara mangongkal holi ini, tanpa kita sadari ternyata cukup menarik minat wisatawan untuk melihat acara serupa secara langsung. Hal itu terbukti ketika penulis mengunjungi Pameran Fotografi Eksplorasi Keindahan Budaya dan Alam Danau Toba pada tahun 2017 yang lalu di Jakarta.
Beberapa foto yang bercerita tentang kegiatan mangongkal holi mendapat apresiasi yang cukup tinggi oleh pengunjung. Bahkan curator foto yang berasal dari Argentina dan Belanda bertanya tentang kapan acara mangongkal holi diadakan di kawasan Danau Toba. Mereka mau melihat langsung.
Meraka berpikiran, jika acara mangongkal holi dilaksanakan hanya pada saat musim tertentu atau sudah ada jadwal tiap setiap tahunnya.
Terkait pertanyaan itu alangkah baiknya memang jika pemerintah/tokoh adat di kawasan Danau Toba sepakat agar penyelenggarakan acara mangongkal holi oleh masyarakat dilaksanakan hanya pada saat tertentu. Caranya?
Sebagaimana diketahui, penggalian tulang belulang harus mendapatkan ijin dari pemerintah daerah atau pemerintah setempat. Sudah saatnya pemerintah memikirkan agar ijin penggalian makam leluhur ini diberikan hanya pada bulan Desember saja misalnya.
Sehingga acara mengongkal holi itu bisa masuk dalam kalender wisata. Manortor diiringi gondang Batak belakangan ini hanya bisa kita nikmati dalam pesta mangongkal holi. Itu pun tidak semua, sebab sudah ada pesta mangongkal holi yang penyelenggaraannya diiringi oleh musik kekinian.
Tanpa kita sadar, jika saat pesta mangongkal holi pun sudah di iringi musik (bukan gondang), unsur-unsur budaya Batak yang tua nan adiluhung itu bisa saja musnah. Berharap dengan dikemasnya acara mangongkal holi yang diiringi gondang Batak menjadi agenda tahunan di kawasan Danau Toba, bisa meningkatkan kunjungan wisatawan sekaligus sebagai sebagai upaya jalan pulang ke warisan leluhur jika kita mau.
Penulis : Asmon
Editor : Mahadi Sitanggang