SAMOSIR – Selasa, 2 Februari 2022, Hutaraja di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir Sumatera Utara, sontak menjadi perbincangan. Presiden Jokowi meresmikan penataan Kampung Ulos Hutaraja. Orang-orang di kampung berkumpul, semangat menyambut Jokowi.
Penampilan Hutaraja kini memukau. Rumah-rumah Batak di desa ini telah direnovasi, khususnya bagian atap genteng dan pewarnaan secara outdoor.
Ada sejumlah papan informasi dibuat di sejumlah titik di Hutaraja untuk menjelaskan kepada pengunjung tentang apa yang mereka lihat. Papan informasinya pun dilengkapi dengan Bahasa Inggris.

Kampung ini begitu khusus bagiku. Masa kecil kuhabiskan 4 tahun di Hutaraja. Aku mengenal sejumlah orang di kampung ini. Aku jeli mengingat masa kecilku, 24 tahun lalu di kampung ini. Aku senang melihat upaya pemerintah untuk membenahi Hutaraja.
Rumah Inang Namatuaku salah satunya yang dapat program pembenahan rumah. Inang Namatua, panggilan untuk nenek buyutku. Inang Namatua dikenal tetangga-tetangga dengan sebutan Parumah Genteng.
Di tahun 1998, banyak warga tidak punya televisi. Biasanya waktu anak-anak habis bermain di halaman rumah. Kami biasanya kumpul untuk bermain congklak, karet, atau petak umpat atau sekadar cerita-cerita.
Para tetangga biasanya sangat murah hati. Apa saja yang ada di dapur mereka akan disajikan kepada tamu. Jika mereka masak ubi ya ubi itu akan disajikan ke tamu.
Kebanyakan akan senang jika tamu mereka memakan atau meminum habis seluruh persediaan yang disajikan oleh tuan rumah. Sebaliknya, jika ada sisa atau tidak disentuh sama sekali, itu dapat menyinggung perasaan penghuni rumah.
Salah satu tetangga paling tidak bisa kulupakan itu, Opung Uli Situmorang. Sapaan lainnya Pak Robin Situmorang. Bagiku, opung sosok petani yang tidak kenal lelah.
Di antara semua orang yang kuperhatikan di Hutaraja, dialah yang paling rajin.
Kuingat, Opung Uli yang laki-laki dan perempuan sangat bekerja keras untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
Selama di Hutaraja, karena Inang Namatua tidak punya televisi, aku biasanya menonton di rumah Opung Uli.
Biasanya, kami menonton sembari membersihkan bawang-bawang yang sudah kering. Memotong daun dan akarnya. Kebiasan kumpul untuk membersihkan bawang atau kemiri, sudah berkurang.
Satu tetangga lagi, yang masih kuingat adalah kerabat dari mamaku yakni Opung Valen Situmorang. Wajahnya banyak terpampang di sejumlah halaman wisata karena dia dikenal sebagai pembuat ulos.

Karena Lumban Suhi-Suhi dikenal sebagai desa penghasil Ulos, Opung sering diwawancarai tentang Ulos Batak Toba.
Raja Simarmata, Kepala Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, juga masih teman semasa kecilku di Hutaraja.
Semasa kecil, aku dan kawan-kawan banyak menghabiskan waktu menggembalakan kerbau bersama. Bagian bawah pintu Rumah Batak adalah kandang kerbau yang dalam Bahasa Batak disebut Bara.
Tapi selama berkunjung ke sana, aku belum pernah mendapati bara ini difungsikan sebagai kandang kerbau. Mungkin sejak kampung ini dibranding jadi Kampung Ulos.
Dahlia Silaban, Helpin Silaban, Rusmiani Silaban, Merli Situmorang, Parasian Situmorang, Mando Situmorang, Evi Situmorang, Lisa Situmorang, itu nama-nama kawanku semasa SD.
Dulu, sebelum ke sekolah kami berangkat bersama untuk menempatkan kerbau. Setelah itu kami boleh pergi ke sekolah.
Sekarang, kebiasaan seperti itu tidak ada lagi. Anak-anak tidak lagi ditugaskan untuk mengurus kerbau.
Dulu, karena warga memelihara kerbau, banyak kotoran kerbau di halaman rumah berserak. Sekarang, kondisinya Hutaraja tidak seperti itu lagi. Jumlah kerbau pun tidak sebanyak dulu. Pun tidak ditempatkan di Bara.
Dulu, kami mandi di pantai Danau Toba di belakang Hutaraja. Tapi sekarang, kebanyakan orang sudah memiliki kamar mandi di rumah. Mandi pun di rumah. Hanya sejumlah warga yang masih mandi di Danau Toba.
Dulu, mencuci piring dan memandikan kerbau juga satu tempat di sini.
Hal lain yang sangat kurasakan berbeda yakni saat bermalam, udara tidak lagi sesejuk dulu. Aku bertanya dalam hati mengapa Hutaraja menjadi lebih hangat.
Besoknya kulihat bagian belakang Hutaraja. Ternyata pohon-pohon kemiri, mangga, dan hariara berukuran besar yang dulu tempat kami memanjat, sudah ditebang.
Pohon-pohon mangga yang dulu begitu lebat di sekitar Hutaraja juga ditebang. Kuamati, di lokasi tersebut dibangun penginapan.
Sebenarnya, tahun-tahun sebelumnya tiap berkunjung kesini, aku juga merasakan demikian. Tidak lain dan tidak bukan kenapa temperatur di sana lebih hangat karena pohon-pohon sudah berkurang.
Rasa buah mangga Samosir juga tidak seperti dulu. Buahnya juga tidak rimbun seperti dulu. Hanya muncul sedikit di beberapa ranting. Itupun kecil. Hampir seukuran telur ayam kampung.
Beberapa kali ku cicipi mangga yang jatuh. Ada yang enak. Tapi kebanyakan tidak enak. Tidak seperti yang pernah ku makan semasa aku SD. Nama sekolah kami SD Negeri No 173767 di Alngit Lumban Suhi-Suhi yang telah berubah nama menjadi SD 22.
Penulis : Damayanti
Editor : Mahadi Sitanggang