NINNA.ID – Wali Kota Medan membuat aturan baru: melarang warung daging anjing di Medan. Ini berita bagus bagi pencinta anjing. Namun, jadi berita buruk bagi penyuka daging anjing. Yang pasti, saya beri tahu satu hal: daging anjing itu memang nikmat. Lemaknya yang kenyal lebih menggoda. Di Doloksanggul, ada sebuah kedai makan dengan sajian khas daging anjing.
Jika Anda datang, boleh saya antar ke sana, tentu jangan saya yang traktir. Tempatnya di Jalan Siliwangi. Sekitar 50 meter dari Masjid Raya di Doloksanggul ke arah simpang empat. Jika Anda dari arah Sidikalang menuju Doloksanggul, tepatnya di sebelah kiri. Saya sangat suka masakan mereka. Pernah seorang rekan guru mengajak saya ke rumah makan khas daging anjing lain.
Namun, saya lebih tergiur dengan masakan yang ini. Oh, iya, saya tak doyan makan daging anjing. Belum tentu dalam sebulan saya memakannya. Namun, adakalanya juga dalam sebulan malah makan tiap minggu. Bulan lalu, saya tidak makan daging anjing sama sekali. Bulan ini baru sekali. Tepatnya malam minggu kemarin. Saya membawa istri saya.
Ini cukup menarik. Istri saya pencinta anjing. Hanya memang, tidak terlalu. Karena itu, sampai kami belum menikah, ia belum pernah makan daging anjing. Jika saya makan, ia marah. Namun, semua berubah setelah covid. Saat itu, ia menggigil. Badannya panas. Panas sekali. Ia takut ke rumah sakit. Anda tahu, di masa awal covid, batuk membuat kita terisolasi.
Saya membuat tawaran: makan daging anjing. Ia takut dan ragu. Lalu, saya membuat kesaksian. Kesaksian ini bukan diibuat-buat. Ini kisah nyata saya. Jadi, pada masa awal kuliah, saya terserang DBD. Tahunnya saya lupa persis. Mungkin 2009. Saya dirawat di RSU Pringadi. Seingat saya, infus masuk ke tubuh saya sebanyak 50-an botol. Sembilan hari saya di sana.
Selama sembilan hari itu, orangtua saya tak bisa datang. Mereka tak punya ongkos. Saat itu, ongkos Doloksanggul-Medan sebesar Rp45.000, 00. Itu artinya, mereka tak punya uang sebanyak itu. Terkesan mengada-ada. Tetapi, itu realita. Malah, beberapa kali dulu, orang tua saya mengirim uang melalui bus sebesar Rp50. 000,00. Mengerikan jika harus diingat.
Namun, saya tak akan bicara kemiskinan dan kesedihan saat itu. Apalagi ada keluarga yang sering datang. Mereka membawa rebusan daun jambu. Membawa jambu merah. Memberi Pocari Sweat. Macam-macam. Itulah menu harian saya. Saat itu, ada juga teman sependeritaan saya. Ia tak punya kos. Maka, ia menumpang di kosan saya. Ia orang baik.
Selama saya sakit, dari Unimed, ia selalu datang. Jalan kaki tentu saja. HB saya menurun. Kian hari, terus menurun. Saya sudah lemas. Di awal-awal, keluarga sudah menawari untuk meminum sop anjing. Tetapi, itu dilarang. Dan, saya pun takut larangan dokter. Karena itu, saya tak mau daging anjing. Sehari, dua hari, tiga hari, hingga delapan hari sudah berlalu.
Saya akhirnya membuat keputusan penting. Semua ramuan tak berhasil. Puluhan infus pun kurang berdaya. Juga dengan pil dan sirup. Akhirnya, di hari kedelapan, dengan sembunyi-sembunyi, saya minum sop anjing. Keluarga juga memberikan dagingnya. Keajaiban datang. Tubuh saya makin enak. Saya pesan lagi kalau ada uang teman itu dan keluarga.
Mereka memberikan. Saya mulai lahap makan. Dan, keesokan harinya, saya pulang dari rumah sakit itu. Saya merasa, tubuh saya sudah bugar. Dokter pun sudah mengizinkan. Singkat cerita, daging anjing dan sopnya memberi saya rahmat Tuhan lebih cepat. Saya jadi menyesal: mengapa tidak sejak hari pertama saya meminumnya?
Kesaksian itu kuceritakan kepada Sang Istri. Ia pun membuat keputusan penting: memakan daging anjing. Keesokan harinya, berangsur-angsur ia pulih. Hingga pada akhirnya, ia berubah. Dari pencinta anjing menjadi penyuka daging anjing. Setelah kami menikah, yang selalu mengajak memakan daging anjing hampir selalu dia. Termasuk malam minggu kemarin.
Ia masih pencinta anjing. Ia punya dua ekor anjing di Siantar. Dulu, anjing itu ia beri makan mewah. Susu. Daging. Dan semacamnya. Ia juga memandikannya. Ketika kami datang ke Siantar, ia memeluk anjingnya. Ada satu anjing yang cukup gemuk. Ia bilang pada saya: keknya kalau ini dipotong, enak juga ya. Saya tertawa.
Dari cerita ini, saya punya refleksi. Dulu, leluhur kita konon katanya memakan daging anjing untuk penguatan tondi, penguatan jiwa.
Agaknya, bagi saya itu benar. Juga bagi istri saya. Karena itu, pada esai selanjutnya, saya akan coba bercerita tentang kemungkinan leluhur kita dulunya membuatnya sebagai santapan kekuatan. Semoga Boby Nasution tidak membacanya.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang