SAMOSIR– Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Samosir melaksanakan Pekan Kebudayaan Daerah di Museum Huta Bolon, Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, pada Jumat, 05 Agustus 2022.
Kegiatan ini terbagi menjadi 3 item acara yang terdiri dari Lomba Aksara Batak, Lomba Manggorga (mengukir), Lomba Marturi-turian (Cerita Rakyat)
Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kabupaten Samosir Tetti Naibaho kepada Ninna di Lokasi. Menurutnya, kini para orang tua sudah banyak yang kurang paham tentang Marturi-turian.
“Bagaimana lagi dengan generasi penerus,”sambungnya
Itulah sebabnya Disbudpar merasa bertanggung jawab agar para generasi penerus mampu melestarikan, namun tetap dengan pendampingan orang tua.
“Terimakasih untuk para orang tua kami, tetaplah Marturi-turian kepada anak cucu kalian di rumah,” ujar Tetti.
Lanjutnya, tak hanya Marturi-turian yang kini mulai terlupakan, melainkan juga Manggorga dan juga menuliskan Aksara Batak.
“Maka adik-adik kami, banggalah pada hari ini walaupun tidak juara. Dengan ikut pada hari ini, adik-adik kami sudah turut melestarikan warisan budaya,” ujarnya menyemangati.
Tetti Naibaho meyakini, masih banyak Turi-turian yang belum dituliskan. Maka dirinya meminta kesediaan para orang tua yang masih mengingat, agar segera menuliskan, agar dapat dibaca oleh para generasi penerus.
“Nanti akan kita buat datanya,” sambung Tetti
Menurutnya, dalam waktu dekat Disbudpar Samosir juga akan melaksanakan kegiatan kebudayaan yang sama di Kecamatan Onanrunggu, namun dengan item acara yang berbeda, yaitu Lomba Martumba, dan juga Lomba Uning-uningan.

Pada kesempatan itu, Tetti Naibaho berharap dengan terlaksananya kegiatan ini, kiranya para generasi muda, terkhusus kaum pelajar, semakin mencintai warisan budayanya.
Di tempat yang sama, salah satu dewan juri Sepwan Sinaga (31) yang merupakan pegiat budaya Batak, beranggapan kegiatan seperti ini salah satu wujud dari pengakaran kembali budaya yang ada di Indonesia.
“Kalau di sini khususnya budaya Batak. Sehingga anak-anak itu dipacu kembali mengenal, mencintai, dan melestarikan kembali budayanya,” jelas pria yang kesehariannya merupakan guru di SMA.
Menurutnya, para peserta lomba aksara Batak sudah mampu memahami materi yang disampaikannya, meskipun banyak yang salah dalam penulisan aksara Batak tersebut.
“Mereka menganggap penulisan aksara Batak itu persis seperti meletakkan huruf vokal pada tulisan latin,” jelas Sepwan.
Sepwan berasumsi, ketika seseorang tidak lagi mengenal budaya Batak tetapi mengaku orang Batak, maka orang tersebut telah kehilangan jati dirinya. Seseorang dapat dikatakan orang Batak, maka dapat dilihat dari cara berperilaku, bersikap dan berbicara layaknya seorang anak dan putri raja.
“Jadi pangalaho (perilaku) anak ni raja (anak seorang raja), boruni raja (putri seorang raja) itu yang harus ditunjukkan,” pungkasnya
Walau diawali rasa tidak percaya diri mengikuti lomba ini, pemenang juara 1 lomba penulisan Aksara Batak Ester Sinaga (13) mengaku sangat terkejut ketika namanya disebutkan sebagai juara pertama.
“Karna rata-rata tadi orang itu cepat-cepat kali selesai menuliskan,” ujar Ester sembari tertawa.
Dirinya mengaku telah lama belajar tentang aksara Batak sejak dia mengikuti salah satu Sanggar Budaya yang ada di Kabupaten Samosir. Ester berharap agar para guru di sekolahnya dapat menjaga perasaan para murid yang mengikuti perlombaan.
“Mereka juga gak percaya kami bakalan menang, cuma ikut-ikut aja gitu. Kami harapkan mereka mendukung kami supaya menang,” harapnya.
Penulis  : Edward Limbong
Editor    : Mahadi Sitanggang