NINNA.ID-Masalah banjir di Kecamatan Baktiraja sudah darurat. Tak bisa lagi dibiarkan dan dianggap biasa.
Pasalnya akhir-akhir ini, banjir tersebut diketahui sudah yang ke 2 kalinya terjadi di Baktiraja, khususnya yang paling terimbas yakni Desa Marbun Dolok dan Marbun Tonga, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) yang terjadi pada Selasa 14 November 2023.
Banyaknya asumsi masyarakat maupun netizen pada banjir pertama pada 4 November 2017 yang lalu, mengatakan bahwa banjir tersebuti dikarenakan bencana alam.
Akibat intensitas curah hujan yang tinggi.
Namun sebagian besar ada yang mengatakan bahwa banjir diakibatkan pengaruh penebangan hutan serta keberadaan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) yang terletak di Bakara, Kabupaten Humbahas.
Persoalan ini seakan-akan dibiarkan begitu saja, Pemerintah Kabupaten hanya fokus memperhatikan penanganan setelah musibahnya muncul. Akan tetapi, belum ada tindak lanjut tentang isu tersebut.
Banjir tersebut memang tidak jauh dari yang namanya bencana alam seperti hujan deras.
Namun, banjir tersebut kini telah menimbulkan persoalan dan masalah baru yakni pertanian dan pemukiman penduduk yang terancam.
Saya penduduk setempat merasa berkewajiban menyuarakan dampak bencana alam terkait persoalan banjir yang baru- baru ini terjadi.
Dimana, adanya unsur kesengajaan maupun ketidaksengajaan seperti misalnya buang sampah ke sungai, penebangan pohon liar di hutan dan tambang- tambang ilegal yang masih beroperasi di Humbang Hasundutan.
Terlebih di Kawasan Aliran Sungai Aek Silang yang ujungnya bermuara ke daerah Baktiraja.
Kalau dianalogikan, jika hutan gundul di daerah Hutan Pollung, ya ujung-ujung nya daerah kita yang menerima luapan air.
Itu salah satu pemicu banjir bandang, apalagi kita yang tinggal di daerah lembah, sungguh sangat memprihatikan.
Lain lagi dengan persoalan konsesi lahan hutan yang dijadikan sebagai program negara atau yang dikelola swasta seperti Food Estate, lahan konsesi perusahaan TPL (Toba Pulp Lestari) di Kecamatan Pollung, dan PLTMH yang berada di Kecamatan Baktiraja.
Disisi lain program ini menguntungkan, tapi tetap juga bisa menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan alam.
Sebagai masyarakat setempat saya sendiri patut menduga musibah banjir ini bukan perihal bencana alamiah lagi.
Masalahnya sudah terjadi berulang. Semula normal, kini sudah menghawatirkan dan mengancam kehidupan warga terkhusus Baktiraja.
Keberadaan Food Estate, lahan konsesi TPL dan PLTMH di Bumi Humbang Hasundutan ini, sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan hidup.
Untuk itu, saya turut bersuara supaya keberadaan Program dan Perusahaan itu perlu di pertanyakan lagi, baik dari segi izin konsesi dan segi analisa dampak lingkungannya (AMDAL), supaya tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Mulai dari masalah lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, hingga konflik kekerasan.
Saya berharap kepada pemangku kepentingan supaya segera melakukan pengawasan dan peninjauan ulang terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut.
Semoga Pemerintah Daerah segera melakukan tindak lanjut penanganan, salah satunya normalisasi Sungai Aek Silang sampai ke muara sungai. Saya sendiri bukan menuduh dan bukan juga anti pembangunan.
Tapi kalau memang daerah kita dibangun hanya untuk menimbulkan masalah negatif yang tidak ada solusi, kan yang menerima dampak ujungnya warga juga.
Itu sebabnya harus dipertimbangkan sebelumnya. Jangan sampai merugikan masyarakat.
Penulis: Rintos Sastro Sinambela ST. Penulis adalah pemuda di Baktiraja
Editor: Damayanti Sinaga