BOROBUDUR – Ada Ruwatan Bumi. Ini menjadi acara penutup setelah dilakukan lebih dari sepekan. Di tempat ini pula, film Marhontas karya siswa SMA Negeri 1 Doloksanggul dipertontonkan. Acara dihadiri delegasi dari negara-negara sahabat, juga G-20. Hadir juga Mas Ganjar Pranowo. Masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang hadir.
Nah, yang menarik bagi saya adalah Mas Menteri Nadiem Makarim. Ia memakai ulos Batak. Saya ingin sekali berfoto dengan Mas Nadiem. Banyak alasan saya. Saya termasuk pengagum idenya meski bukan semuanya. Saya seorang guru. Beberapa kali menulis di media. Mungkin beliau tak pernah membacanya, termasuk surat terbuka untuknya.
Nah, karena sebagai guru, saya ingin sekali berfoto dengannya. Kebetulan, saya juga membawa seorang siswa. Maka, akan menjadi kebanggan dapat berfoto dengannya. Apalagi saat itu, Mas Nadiem juga memakai ulos. Saya pun memakai ulos. Komplet sudah. Sebagai pengagum budaya Batak. Kadang juga disebut sebagai seniman.
Di sisi lain, sebagai guru. Di sisi lainnya, sebagai guru yang mungkin bisa disebut berprestasi. Berprestasi, ya, karena bisa membawa siswa ke panggung nasional hingga ikut pada Ruwatan Bumi ini. Sayang, Mas Nadiem terlalu sibuk. Sibuk sekali. Ia disukai banyak orang. Jadi, agak mustahil bagi kami saat itu untuk berfoto dengannya saat itu di Borobudur.
Yang pasti, saat itu, acara sangat khidmat. Semua terdiam menikmati pertunjukan akhir pada Ruwatan Bumi. Acaranya sekitar 2 jam. Tentu saja tidak semua suku ikut di pentas utama. Namun, perwakilan provinsi tampaknya semua ada. Saya mendengar, Sumatera Utara diwakilkan oleh puak Karo. Doa-doa beralunan nyanyian dilantunkan.
Mungkin, kalau Toba kian jadi perwakilan, maka doanya dalam nada andung-andung. Sebab, saya melihatnya begitu. Semua doa-doa itu disampaikan dengan nyanyian. Apakah nada andung-andung juga bisa dibuat dalam lantunan doa? Saya tidak tahu persis. Apalagi saat ini, tradisi mangandung sudah sangat jarang.
Literatur kita tentang mangandung pun sangat minim. Agaknya, perlu studi etnografi tentang mangandung agar data literatur tentang tradisi tersebut semakin kuat. Karena ke depan, selain semakin memuja modernitas, sebagian manusia juga akan semakin mencintai akar tradisinya. Pada saatnya, tradisi pun akan menjadi mahal.
Begitulah. Satu-satunya yang sangat saya sesalkan, momennya pas, tetapi tak saling sambung. Saya pakai ulos. Mas Nadiem juga. Tetapi, ah, tak sempat foto bareng. Namun, satu yang sudah pasti. Mas Nadiem Makarim pasti bangga pada orang Batak. Buktinya, ia memakai ulos. Pertanyaannya: apakah orang Batak bangga pada Batak?
Setiap kita punya jawabannya. Namun, gampang untuk mengukurnya. Gampang sekali. Apakah kita masih fasih berbahasa Batak? Apakah masih ada kata makkuling mudar i? Hanya kedua ini saja alat ukurnya. Jika kedua pertanyaan itu dijawab dengan kata “ya”, saya tak meragukan kecintaan kita pada budaya kita, yaitu Batak.
Oh, iya. Setelah melihat acara di Borobudur, saya punya mimpi. Andai saja, Kementerian memberi kepercayaan pada kabupaten tertentu di Tanah Batak untuk melakukan acara sebesar itu, kita akan sangat senang. Tentu, acaranya harus panggung budaya, bukan panggung musik. Panggung budaya beda dengan panggung musik. Ya, beda sekali.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang