NINNA.ID – Putra Ferdinand Marcos terpilih menjadi Presiden Filipina. Ia menang telak dari para pesaingnya. Namun, kita tak membahas hal itu. Kita membahas hal lain. Bahwa ternyata, Ferdinand Marcos masih keturunan Batak. Saya tak tahu itu benar. Hanya saja, dari beberapa sumber di internet, konon Marcos senior pernah datang ke Indonesia. Ia berjumpa dengan Pak Harto.
Pada saat itu, Presiden Marcos mengaku kalau-kalau dirinya masih berdarah Batak. Entah apa maksud pengakuan itu. Untuk mendekatkan diri ke Indonesia? Atau, sebatas seloroh agar pembicaraan menarik? Bisa jadi. Karena, presiden diktator itu memang berasal dari sebuah desa di Provinsi Ilocos Norte. Di sana ada sebuah daerah bernama unik: Batak. Jadi, mungkin ini hanya seloroh Marcos.
Seloroh supaya pembicaraan dua presiden berjalan dengan baik. Jadi, kata Batak pada bahasa seloroh Presiden Marcos merujuk pada daerah, bukan etnis. Batak City di sana termasuk daerah administratif besar. Jadi, sudah fiks, ya, Marcos itu bukan orang Batak, tapi orang yang mungkin berasal dari Batak City. Memang, ada juga suku Batak di Filipina. Namun, ini tak ada kaitannya dengan Batak City.
Mereka terbentang jarak yang cukup jauh. Kali ini, kita lupakan Batak City. Mari kita bahas suku Batak di Filipina. Suku ini salah satu suku pribumi di sana. Mereka hidup cukup terisolasi karena mereka memang menutup diri dari dunia luar. Jumlah mereka juga sangat sedikit. Berbeda dengan suku Batak di Indonesia yang menjadi salah satu suku terbesar di Nusantara.
Pertanyaan kita tentu sama: apakah suku Batak di Filipina sama saja dengan suku Batak di Indonesia? Pertanyaan yang wajar sebab mengapa penamaannya sama? Apakah ini sebuah kebetulan? Atau, apakah mungkin kata Batak pada mereka hanya julukan sebagaimana kata Batak pada salah satu suku di Sumatera Utara juga julukan orang luar sehingga kini banyak gerakan bukbak, bukan Batak?
Gerakan yang menarik tentu saja. Cuma, kadang jadi aneh juga. Mengapa mereka menolak jadi Batak atas alasan bahwa nama itu diberikan oleh pengelana, sementara pada saat yang sama, mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang Indonesia yang padahal nama Indonesia sendiri pun adalah nama yang diberikan para pengelana? Sungguh sebuah standar ganda yang aneh.
Baiklah, kembali kita bahas suku Batak di Filipina. Sangat terbuka kemungkinan mereka diberi julukan sebagai Batak lantaran sifatnya yang masih tinggal di hutan dan di pegunungan. Persis seperti kehidupan Batak di Indonesia pada masa dulu.
Namun, di luar itu, kita tak bisa menolak begitu saja bahwa sangat mungkin Batak di Filipina dan Batak di Indonesia masih terkait satu sama lainnya.
Soalnya, dilihat dari segi kebiasaan, keduanya punya kemiripan. Dalam hal perkawinan misalnya, terdapat banyak kesamaan dengan Suku Batak di Indonesia. Begitu juga dengan yang lainnya. Soal kepercayaan dan keyakinan, terutama jika dibandingkan dengan tradisi kuno Batak di Sumatera Utara, bisa dibilang juga sama. Yaitu, sama-sama animisme. Malah ada yang jauh lebih sama lagi.
Soalnya, Dewa Batak Filipina salah satunya dinamai “diwata”. Secara fonem, hampir sama dengan Batak di Sumatera Utara, yaitu “debata”. Ya, secara bahasa, mungkin ini pengaruh bahasa Sanskerta. Namun, ternyata konon ada bahasa lain juga yang sama. Misalnya, mangan (makan). Ini memang masih relatif biasa. Sebab, bahasa untuk makan cenderung sama di tiap daerah, setidaknya dimulai dengan suku kata “ma”.
Namun, yang jauh lebih menarik adalah ketika bahasa kita untuk memanggil seseorang juga konon sama. Untuk ibu, sama-sama inong. Untuk ayah, sama-sama among. Untuk saudara laki-laki atau saudara perempuan, sama-sama iboto. Babi cincang? Ternyata sama-sama saksang. Mungkin masih ada yang sama. Jadi, penasaran juga untuk melihat lebih jauh ke sana. Sayang, suku ini terlalu terisolasi.
Mereka sudah minim. Hampir boleh dikatakan hampir punah. Sebabnya, cara mereka menikah dibatasi. Sistem perkawinan adalah eksogami. Seseorang menikah hanya diizinkan ke luar klan atau marga. Mungkin karena itu, jumlah orang Batak Filipina dalam komunitas aslinya tak berkembang secara signifikan. Maksud saya, cukup menarik juga untuk membuat studi etnografi dan arkeologi antara Batak di Filipina dan Sumatera.
Sangat menarik tentu saja. Mengapa namanya sama? Apakah cuma kebetulan? Kalau kebetulan, ini kebetulan yang keterlaluan karena banyaknya persamaan kuktur, ritual, juga bahasa. Sayang, studi seperti ini mungkin sulit terwujud karena sudah lintas negara. Tapi, ini bisa disiasati dengan studi etnografi oleh seorang seniman atau sastrawan atau akademisi untuk berkunjung ke sana sekadar untuk mencari tahu saja dulu.
Bahwa, jangan-jangan memang saat itu Marcos tidak hanya berseloroh pada Presiden Harto? Hehehe, jangan dianggap serius, ya. Ini hanya bagian dari selorohan saya sebelum mengakhiri tulisan ini. Namun, satu yang pasti, saya masih sangat penasaran mengapa banyak persamaan di antara kita? Mungkinkah mereka dulu adalah nenek moyang kita atau kitalah nenek moyang mereka? Entahlah…
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang