NINNA.ID – Hari sudah petang. Sanggar kami Sanggar Maduma dijemput panitia Bulan Tula dari Doloksanggul ke Desa Tipang di Baktiraja. Ada beberapa kejutan. Kejutan pertama, kami ikut di akhir-akhir waktu. Saat itu siswa-siswa sanggar saya antusias untuk ikut tampil. Saya masih di Jakarta saat itu sebagai pemateri dari Kemendikbudristek untuk urusan kebahasaan dan pembelajaran.
Karena itu, saya hubungi seorang profesional, Elkando Purba. Ia setuju. Dan, kami pun tampil. Latihan hanya dua hari. Tetapi, bagi saya, hasilnya mendekati kategori maksimal. Ada tarian dari lagu Sappele-Sappele. Ada tarian untuk deskripsi daerah agraris. Kebetulan, Desa Tipang sangat agraris. Pemain dari sanggar bilang belum maksimal. Tetapi, dengan durasi latihan yang minim, itu cukup maksimal bagi saya.
Kejutan lain, Pak Oloan Paniaran Nababan, Wakil Bupati Humbang Hasundutan yang cukup energik, ikut hadir. Kejutan karena saya pikir ia akan berhalangan hadir. Maka, tarian sambutan dilakukan. Sanggar kami dari Sanggar Maduma dibuat menjadi penarinya. Tidak maksimal. Tetapi, seniman selalu punya cara untuk bekerja menyesuaikan lapangan sehingga tanpa latihan, mereka bisa tampil.
Pada esai yang singkat ini, saya tak akan bicara Bulan Tula di Baktiraja. Suatu saat saya akan membahasnya. Kali ini, saya akan membahas sosok yang menurut saya inspiratif. Dia adalah Uda Martahan Sitohang. Mengapa Uda? Saya marga Situmorang, itu saja. Tentu, dalam urusan marga, Martahan adalah Uda saya.
Oh, yang ini harus saya sampaikan. Saya marga Situmorang. Saya cukup bangga dengan marga itu. Ada banyak Situmorang yang tenar. Ada Nahum. Ada Saut. Ada Sitor. Tetapi, saya lebih menarik membahas Sitor. Ia penulis besar. Meski berlebihan, dalam hati, saya ingin meneruskan nama besar Situmorang melalui tulisan. Namun, saya sadar, itu pekerjaan yang berat.
Kembali ke Uda Martahan Sitohang. Saya ini guru. Karena itu, tentu sangat akrab dengan Nadiem Makarim. Medsosnya saya ikuti. Programnya saya dalami. Beberapa sudah saya kritisi dalam berbagai esai singkat di koran-koran lokal hingga nasional malah. Intinya, bagi saya, Nadiem Makarim sudah sangat besar. Sangat besar.
Karena itu, ketika diberitakan Mas Nadiem akan ke Samosir, saya merinding. Kreativitas atau kekuatan macam apa yang bisa menghadirkan Mas Menteri ke Tanah Batak? Ternyata karena Uda Martahan Sitohang dengan satu projek masterpiece-nya. Saya sebut saja masterpiece karena bagi saya itu sungguh sangat luar biasa.
Dan, hari berlalu. Berita-berita kedatangan Nadiem Makarim berseliweran. Semua menjadi biasa bagi saya dengan masifnya berita-berita itu. Hingga pada satu momen, saya melihat Mas Menteri mengunggah di akun instagramnya bahwa ia menginap di rumah Uda Martahan Sitohang. Saya pun kembali merinding. Ada apa hingga sekelas Mas Menteri tidak hanya mampir, tetapi juga menginap di rumahnya?
Saya tak sedang meragukan Uda Martahan. Ia pantas untuk itu. Apalagi latar keluarganya juga dekat dengan kesenimanan. Perjuangannya tiga tahun tanpa pamrih untuk kembali ke Tanah Batak tak bisa diremehkan. Belum lagi portofolionya di masa lalu. Maksud saya, ia pantas untuk itu. Tetapi, pertanyaan itu tetap mengental: ada apa hingga sekelas Mas Menteri memilih rumah Uda Martahan?
Pertanyaan itu lalu menurun ke hal teknis: bagaimana bisa Mas Menteri bisa menginap? Apakah itu sudah direncanakan atau spontan begitu saja? Uda Martahan pun mulai bercerita. Hari itu petang masih remang dan belum gelap. Gerimis kecil-kecil turun. Riuh gembira di sana-sini. Panitia pun sibuk menyambut tamu acara Bulan Tula. Aku sibuk ngobrol dengan Uda Martahan.
“Jadi, para pengawal sudah ramai. Mas Menteri sudah datang dan ada di mobil. Aku menyelinap berusaha masuk untuk bisa bertemu dengan Mas Menteri agar bisa berfoto,” kata Uda Martahan mulai bercerita. Tentu, kalimatnya tak lagi sama persis. Saya sudah mengolahnya semata agar enak dibaca tanpa berniat menghilangkan makna, apalagi melebih-lebihkannya.
“Dan, para pengawal menghalau. Bahkan, seperti memarahi,” lanjut Uda Martahan. Aku bisa membayangkan bahwa pada saat itu, di saat dihalau, Uda Martahan pasti jengkel sejengkel-jengkelnya.
“Lalu, setelah tak berhasil untuk berfoto, ada kabar bahwa keributan telah terjadi di rumah. Aku kaget. Rumah kan tempat persiapan. Aku mulai berpikiran buruk kalau ada apa-apa. Karena ini program kita, aku langsung meminjam kereta. Lumayan jauh. Sekitar sekilometer. Dan, aku langsung tancap gas ke rumah,” lanjutnya.
Saya langsung berimajinasi ke diri saya sendiri. Tentu, rasa panik akan sangat tinggi pada Uda Martahan. Padahal, baru saja kita dikecewakan dengan tidak diizinkan untuk berfoto. Panik gak? Panik gak? Ya, paniklah, masa nggak?
“Nah, di rumah sudah banyak orang. Polisi dan penjaga sangat ramai. Aku berpikir sudah enggak-enggak. Pokoknya, kacau sekali. Maka, aku pun masuk. Orang mengizinkan cepat. Dan, aku semakin yakin, oh, ini pasti ada masalah besar. Dan, aku pun masuk,” kata Uda Martahan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata, di sana, di sebuah kursi tua, Mas Menteri sudah duduk menanti Uda Martahan, bahkan margondang bersama Itonya di sana. Di tengah kejengkelannya lantaran dihalau, ditambah lagi dengan kepanikannya yang baru saja terjadi, lalu kini di hadapannya dan di rumahnya sendiri sudah duduk Mas Nadiem, Uda Martahan pun terharu, bahkan sampai menitikkan air mata.
Saya sendiri mendengar cerita itu pun sangat terharu. Pada intinya, Mas Nadiem tak hanya berkunjung ke Samosir, tak hanya menginap di rumah sendiri, tetapi juga memberi kejutan lewat prank yang sangat mengharukan. Dan, Uda Martahan melanjutkan cerita tentang pertemuan empat matanya dengan Mas Menteri? Apa itu?
Mungkin, suatu saat akan kita bahas lebih detail. Tetapi, satu yang pasti, kata Uda Martahan, program Bulan Tula ini adalah ide darinya. “Tanggal 13 November juga akan kita lakukan di Harian Boho. Ikutlah. Mas Menteri aja sudah menginap, masa kamu nggak?” tantang Uda Martahan yang sering disebut sebagai Mantri Kesenian Toba.
Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor     : Mahadi Sitanggang