NINNA.ID – Selain Manimus nimusi dalam ritual memasuki rumah baru, suku Batak mengenal ritual yang disebut Mangihutihut Tukkanģ (pekerja). Di awal sekali, Tukkang-lah yang membawa si pemilik rumah untuk memasuki rumah baru tersebut. Mangihutihut tukkang biasanya dilakukan di malam hari.
Persiapan wajib harus menyediakan Pagabe (alat tenun) bersama kemiri dan sirih yang dibawa istri si pemilik rumah (Tuanlaim boru). Yang hadir pada acara tersebut adalah keluarga serumpun dan pihak hula hula yang berkaitan langsung dan pihak marga boru. Pada acara itu dipersiapkan Tudutuda Sipanganon kepada Hulahula (saudara kaki laki istri si pemilik rumah) demikian hula hula memberikan ikan kepada Hasuhuton (si pemilik rumah). Seusai makan, hula hula memberikan ulos sedangkan yang lain hanya memberi beras Sipirni Tondi.
Biasanya, setelah ritual menghormati para tukang bangunan selesai, acara dilanjutkan dengan Marmasuk Jabu. Hajatan ini lebih meluas dengan mengundang para kerabat dan handaitolan. Hal penting dalam hajatan ini, ada Tudutudu Sipanganon diberikan kepada Hulahula yang berkaitan langsung dengan istri si pemilik rumah. Berbeda dengan Manimus nimusi yang dilakukan di malam hari, Marmasuk Jabu dilakukan di sang hari.
Setelah tahapan untuk memasuki rumah, mulai dari Manimus nimusi, Mangihut ihut tukkang hingga Marnasuk, ada tahapan yang dilakukan si pemilik rumah baru yang sangat berkaitan dengan tradisi nenek moyang, yang disebut Mangompoi.
Saat Mangompoi, pemilik rumah harus menyiapkan alat tenun yang disebut Pagabe, kemudian memajang ulos di sudut sebelah kanan belakang rumah. Lalu pada plafon rumah dipasang Mare mare (hiasan dinding dari janur kuning). Menurut penuturan beberapa orangtua, acara mangompoi dilakukan pada rumah yang dibangun si pemilik. Kalau rumah baru itu dibeli, tidak boleh diompoi.
Dalam acara Mangompoi ini, Hula hula yang terlihat paling berperan adalah paman suami (si pamupus si pembuat rumah). Begitu juga dalam pelaksanaan Tudutudu Sipanganon (Namargoar) diserahkan ke paman suami. Peran paman inilah yang membuat beda dengan acara Marmasuk Jabu.
Pada umumnya, rumah yang diompoi secara tradisional disebut Mambuat Tuani Jabu. Hasuhuton mengundang Pargonsi serta Mangadati Tukkang.
Saat itu, Pargonsi memberi pemahaman tentang makna padi dan beras dicampur dalam bakul, yang jaman dulu disebut Jual (ampang), agar Hasuhuton duduk bersama dengan Namartinodohon, Pargonsi lalu mengalunkan musiknya yang disebut Panjujuron.
Setelah itu Pargonsi menyuruh istri si pemilik rumah menggendong Sagu sagu dengan ulos Surisuri Maranak. menghadap ke Galang. Setelah serunai berbunyi musik Sitio tio, semua yang menghadap Galapang berputar kekanan. Dilanjutkan Boru Siakkaan (anak perempuan paling besar) membuka ulos yang berisikan Sagusagu dan menjadi milik puterinya namun harus diadati.
Acara dilanjutkan kepada Namarhaha Maranggi Marsiolopolopan/Marsisiuksiukan. Giliran marga boru harus membawa kerbau, lembu dan mas, ringgit dan perak. Saat ini diganti dengan uang. Terakhir Hulahula Sipamupus laki-laki yang mendirikan rumah tersebut memberi Ulos Gonggoman, pertanda laki-lakilah yang berhak memiliki rumah bukan perempuan (istri).
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang