NINNA.ID – Mari kita simak lanjutan tulisan kami sebelumnya. Setelah melantunkan tonggo-tonggo (doa) kepada debata Mulajadi Nabolon (Tuhan dalam konsep kepercayaan suku Batak kuno), baru kemudian ayam tersebut diuras lalu diberi beras dari kepala hingga ke ekor si ayam. Sisanya diletakkan di telapak tangan agar dimakan ayam itu.
Nah, pada proses Mangaruma Tondi ini dan manguras ayam tersebut, ada hal–hal yang tidak boleh luput dari perhatian Tuan Datu. Misalnya berapa kali ayam berkotek sampai memperhatikan apakah si ayam buang kotoran.
Dari perspektif hukum alam menurut kepercayaan suku Batak, jika si ayam buang kotoran, Tuan Datu mengartikannya akan ada banyak pengeluaran yang akan ditanggung. Begitu juga ketika pemotongan ayam, jika darah segar yang keluar banyak atau sedikit, mengandung makna tersendiri juga.
Jika darah keluar banyak mengandung makna akan terjadi penghasilan yang berlimpah, sedangkan jika darah yang keluar sedikit mengandung makna akan terjadi Haleon atau paceklik yang berkepanjangan.
Dalam proses maguras ayam tadi, leher ayam yang sudah disembelih tadi akan dipegang dengan tangan kiri sementara tangan kanan memegang belati. Sebelum ayam itu mati, kaki ayam biasanya akan bergerak-gerak bersama sayapnya. Hal ini juga tidak boleh luput dari pengawasan Tuan Datuk karena sarat akan makna juga.
Beberapa saat setelah ayam diletakkan dan ditutupi dengan Ampang, akan terdengar ayam menggelepar di dalam ampang tersebut. Tuan Datu pun akan melantunkan tonggo tonggonya yang berbunyi
…Hujaha ma, hujama debata ni parmanuhonon si aji makjatiri laba laba ni oppu na, par hata-hata dibibir na par jaga-jaga ditolonanna, Taripar tulluk binereng ni matana, taripar tai binege ni pinggol, ia tung adong mangoppasson bolon na, mangalipatton ganjangna, namanuan bulu di lapang-lapang ni babi, manuan uhum di naso jadi, Asa takkas ma pabo marhite debata ni parmanuhonon, aloi ompung, aloi ompung, aloi ompung….
Setelah proses martonggo selesai, Tuan Datu pun akan bertanya kepada para pembuat acara ke arah mana ayam jatuh (roboh), lalu ampang pun dibuka dan akan diberitahukan posisinya kepada Tuan Datu, dengan menjawab “….dompak hasundutan do Namalonami, jika memang hasunduton, habissaran do namalo nami jika memang habissaran …”
Biasanya Tuan Datu akan menyuruh untuk memastikan sekali lagi arah jatuh ayam tersebut. Si pembuat acara pun melihat sekali lagi dan akan menyatakan, “… dompak hasundutan do Namalo nami….”.
Kemudian sang Datu akan Manurirang dengan lantunan kata, “… Dage rajanami, daparroboni manuk on nungnga mandompakkan hasundutan, manundalhon habissaran, nungnga adong mangulahon naso patut, mangulahon naso uhum, manuan bulu di lapang-lapang ni babi, manuan uhum di naso jadi…”
Maknanya, sudah banyak orang yang melakukan guna-guna di tempat yang dipimpin oleh sang Raja, sehingga memang harus berjaga-jagalah dan harus hati-hati, harus segera dibuat suatu penangkal ataupun perisai.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang