NINNA.ID – Dalam sebuah bincang-bincang ringan, terkait batu pauseang pemberian Si Raja Lontung pada borunya Si Raja Sumba di Tipang, Thompson Hs menyebut bahwa dulunya sinamot bukan alat tukar. Seperti diketahui, kian ke sini, sinamot cenderung dipahami sebagai alat tukar. Bahkan, ada saatnya sinamot diartikan sebagai pengganti uang rugi. Motifnya jadi ekonomis. Malah lagi jadi gengsi tersendiri.
“Sinamot itu jaminan,” kata Thompson Hs bercerita. Saat itu sudah malam. Anda tahu, di Bakara, jika malam tiba, angin terasa lebih dingin. Kami bercerita sambil lalu setelah seharian mencari data etnografi di Bakara.
Sepertinya kamu harus datang ke Bakara. Di sana, malam lebih dari malam biasa. Hanya memang, jika ingin santai di kafe mewah, Anda perlu bersabar. Bakara masih butuh investasi. Mungkin, perlu sekitar 5 tahunan lagi.
“Tapi, ini tidak seperti jaminan ketika meminjam ke bank,” lanjut Thompson Hs. Angin dingin tak terasa di tengah cerita. “Ini jaminan bagi pemilik Boru terkait apakah borunya bisa hidup kalau menikah dengan pria itu atau tidak?” tegasnya.
Saya kemudian memahami bahwa ternyata arti jaminan adalah lebih pada jaminan kehidupan anak perempuan. Sebab, setelah menikah, Boru tak lagi menjadi tanggung jawab orang tua.
Tetapi, belakangan ini, saya melihat bahwa sinamot tak lagi dalam arti jaminan hidup. Sinamot sudah ekonomis karena itu menjadi simbol jual-beli. Semakin tinggi status perempuan, sinamotnya biasanya juga akan semakin tinggi.
Tak ada yang salah tentu dengan sinamot yang tinggi. Kita tak perlu mengurusi peruntukan uang tetangga, bukan? Tetapi, tentu saja aneh untuk tidak mengatakan bahwa sinamot diartikan menjadi alat tukar, apalagi gengsi, bukan?
Seorang teman pernah bercerita bahwa ia gagal menikah dengan lelaki pilihannya setelah orang tuanya menolak besaran sinamot. Mungkin ayah si teman itu sedang ikut-ikutan zaman. Sebab, saat ini, sedang terjadi komersialisasi lunak dari sinamot.
Pernah kita dengar sinamot dengan besaran miliaran. Saya sebagai fakir miskin merinding mendengar uang miliaran itu. Itu benar-benar di luar imajinasi saya.
Tetapi, untuk apa mengurusi uang orang lain? Bukankah manusia biasanya kian kaya, maka juga kian pelit? Â Ia relakan uangnya ratusan juta untuk kemewahan dirinya lalu ogah memberi bahkan hanya ribuan untuk para pengemis. Tetapi, begitulah cara hidup bekerja. Uang menjadi alat kontrol. Kebahagiaan memang bukan karena uang. Tetapi, kebahagiaan tak lengkap rasanya tanpa uang. Begitu mungkin dengan adat perkawinan: tak bahagia tanpa sinamot yang besar.
Pengalaman adalah guru, begitu orang bijak berkata. Banyak teman mengatakan bahwa setelah pesta, mereka harus berutang ke sana kemari. Ibaratnya, kita rela bahagia sehari dengan menukarnya berhemat berbulan-bulan. Sesuatu yang tidak matematis sebenarnya. Tetapi, gengsi tidak punya rumus matematika. Gengsi, ya, gengsi itu sendiri. Gengsi tak pernah berhenti. Ia akan terus memperbudak pikiran kita.
Maaf, saya tak sedang mencampuri urusan uang orang lain dan kesenangan-kesenangannya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ternyata hakikat dari sinamot itu pada dasarnya baik. Memang, ia adalah jaminan. Tetapi, ini bukan jaminan seperti untuk peminjaman sehingga motifnya bukan ekonomis, apalagi bisnis.
Motif murni dulunya: humanis. Saya rasa, puncak kemanusiaan berada pada sisi humanis, bukan bisnis. Namun, puncak tak selalu menawarkan rasa yang manis.
Puncak hanya menawarkan bahwa kita telah bisa melihat lebih jauh hingga ke kaki bukit. Berada di puncak biasanya membuat kita lebih mengerti dan lebih sederhana, bahkan rendah hati.
Dalam hal ini, semakin tinggi sebenarnya sinonim dengan semakin rendah hati. Leluhur kita bilang: semakin berisi, semakin merunduk. Sebab, setelah mendaki hingga ke puncak, kita ternyata semakin sadar bahwa kita tak pernah benar-benar sampai di puncak yang hakiki.
Selalu masih ada yang lebih tinggi dari tempat kita yang tertinggi. Saat ini, dengan pengetahuan yang kita miliki, kita sering meniadakan leluhur karena kita merasa sudah di puncak. Kita merasa lebih pintar dan lebih bijaksana dari mereka.
Kita berpikir mereka manusia-manusia primitif hanya karena generasi sezaman kita sudah pernah naik ke luar angkasa dengan pesawat ulang alik (media lain). Kita tak tahu bahwa jangan-jangan leluhur kita bukan dengan media lain, melainkan dengan media kontemplasi sudah berkunjung hingga langit yang tak pernah kita sentuh.
Tulisan ini terlihat seperti ngelantur ke mana-mana. Dari sinamot, kok, jadi ke luar angkasa? Tetapi, poin saya sebenarnya ingin memberikan ini: leluhur kita tak selalu lebih bodoh dari kita. Meski tak pernah membaca, mereka sudah bisa membaca masa depan.
Adat dan tata Krama diatur sedemikian rupa. Namun, kita terkadang langsung membuat simpulan bahwa leluhur selalu lebih primitif dari kita. Primitif, misalnya, karena pernah menjual manusia dengan istilah hatoban.
Tapi, coba dipikirkan, saat ini, dengan komersialisasi sinamot sadar sesadar-sadarnya, kita sebenarnya tak hanya sedang menjual dan membeli orang lain. Kita lebih dari itu, yaitu menjual diri sendiri. Apakah Anda bisa membantah itu?
Kuingat, hari itu, malam makin matang. Diskusi makin panjang. Kopi telanjur dingin. Namun, lamat-lamat saya membaca masa lalu dengan memberikan pertanyaan: mengapa dinasti Sisingamangaraja I hingga VIII tak punya Boru untuk bisa dilihat bagaimana dulunya mereka “manggadis” Boru?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor     : Mahadi Sitanggang