SAMOSIR – Pada dasarnya setiap suku memiliki kebiasaan adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdahulu. Suku Batak misalnya, pada saat ada acara suka maupun duka selalu menyediakan parjambaroan. Parjambaron tersebut biasanya dilaksanakan dengan memotong seekor ternak lembu (Sigagat duhut) ataupun ternak babi (Namarmiak)
Nah, bentuk dari Parjambaron biasanya terdiri dari ulu,ihur, soit, aliang (Gonggoman), hangkam dan ada juga sebagian yang menambahkan ataupun membuatkan rusuk martorus, sehingga memang ada beberapa tambahan yang tergantung daerahnya serta adatnya.
Semisalnya Jambar Ulu (kepala) mempunyai bagian-bagian yang seringkali dijumpai dalam parjambaron seperti osang, pipi namarngingi kanan dan kiri. Bagian atas disebut tahutahu. Dan keseluruhan parjambaron ini yang kemudian disebut Banggangan (Tudutudu).
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, kemana sajakah parjambaron tersebut ? Tentu jawabannya tergantung daerah dan adat setempat.
Kita ambil satu contoh, acara pesta perkawinan misalnya. Banggangan (Tudutudu) diserahkan ke hadapan orangtua pengantin perempuan. Beda hal dengan acara duka, jika yang meninggal dunia adalah seorang laki-laki yang sudah Saurmatua, maka yang menerima parjambaron adalah pamannya, yakni saudara si ibu yang meninggal tadi atau Namamupus. Dan, jika perempuan yang meninggal dunia, maka yang nenerima (Mangadoppon) adalah saudaranya yang laki-laki atau (ibotona).
Pos parjambaron tadi tergantung dari kebiasaan atau budaya yang berlaku di daerah tersebut. Sering juga kita jumpai ada yang memberikan osang kepada protokol (parhata), pipi namarngingi kepada saudara abang adik (haha partubu), tahutahu kepada marga boru, soit kepada hulahula dari atas, hangkam kepada pemerintah setempat, aliang ke pemilik tempat, dan yang terakhir ihur diberikan menjadi upa suhut.
Namun jika kita melihat ke daerah lain, ada beberapa yang memberikan parjambaron osang kepada tulangnya, dan ada juga yang memberikan osang ini kepada Parsinabul, sesuai keyakinan, hal tersebut memiliki makna bahwa parsinabul-lah yang mengatur baik buruknya acara itu, sehingga dari sanalah timbul istilah Parhatahata di bibir parpustaha di tolonan.
Parjambaron pipi namarngingi yang diberikan kepada saudara abang adik, memiliki makna bahwa mereka adalah satu rumpun atau satu kelompok, sehingga kita kenal istilah hombar pipi do osang yang menandakan masih satu garis keturunan.
Parjambaron tahutahu yang memiliki makna panahui do boru (Parhobas), parjambaron ihur yang bermakna upa suhut, tentu yang akan menerima parjambaron ini harus Hasuhuton Bolon.
Parjambaron aliang yang bermakna Gonggoman, yang harus menerima ini adalah Sipargomgom (Sipukka Huta). Parjambaron hangkam yang bermakna pencari solusi atau pemecah persoalan menjadi kedamaian yang akan diterima oleh pemerintah setempat.
Parjambaron rusuk martorus yang bermakna padan, maka jika ada marga- marga yang mempunyai padan atau ikatan terhadap marga lain, parjambaron tersebut akan menjadi pengikatnya.
Demikianlah budaya dan tradisi ini yang masih lestari sampai sekarang di tanah Batak. Yang kita perhatikan bukan nilai dan besarnya parjambaron yang diterima, tetapi bagaimana hak dan kewajiban yang tercermin dalam parjambaron itu sampai dan berada pada tempat yang seharusnya. Sesuatu kebiasaan yang sangat unik dan patut dijadikan contoh dan teladan oleh para generasi penerus di masa mendatang.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang