NINNA.ID-The Kaldera Nomadic Espace Sibisa mungkin sangat familiar di telinga sobat Ninna. Tapi apakah sobat pernah bertanya kisah tentang perkampungan di desa tersebut? Zaman dulu, di tiap kampung Batak selalu ada raja.
Nama kampung biasanya dibuat oleh sang raja. Biasanya mengikuti nama sang raja. Tapi ada juga yang tidak demikian. Misalnya di Sibisa. Tidak ada nama raja Sibisa. Yang ada Narasaon.
Jika Sobat berkenalan dengan penduduk di Sibisa, Sobat akan melihat desa ini dihuni oleh mayoritas marga Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar.
Keempat marga ini biasa disebut Narasaon. Narasaon adalah sebutan bagi leluhur empat marga ini.
Menurut legenda yang beredar, Narasaon diberikan julukan Sirasaon.
Dalam Bahasa Batak artinya kodok. Jadi anggapan wajah kakek moyang mereka mirip kodok makanya disebutlah Narasaon.
Ayah dari Narasaon adalah Datu Pejel. Datu artinya dukun. Jadi karena ayahnya adalah seorang datu makanya digelari Datu Pejel.
Datu Pejel yang tadinya tinggal di Limbong, Samosir, hobi memburu burung dengan alat bambu yang disebut Ultop.
Hobinya inilah yang membawa dia sampai ke lokasi yang kita kenal sekarang Desa Pardomuan Sibisa, Kabupaten Toba.
Zaman dulu, orang hidup nomaden atau berpindah-pindah tanpa perlu membangun rumah permanen di suatu tempat.
Singkatnya, karene berburu sampai ke Sibisa Datu Pejel akhirnya menetap di Desa Sibisa saat itu.
Di sinilah ia menyadari usianya semakin tua tapi belum punya pasangan hidup.
Ia pun bersemedi, bermohon kepada pribadi yang ia percayai yakni Mulajadi Na Bolon agar ia diberi jodoh.
Tak lama setelah bersemedi, ia pun mendengar suara “Martonun” (baca: bertenun), ia pun penasaran lalu pergi melihatnya.
Ia sangat terkejut sudah lama menetap di Sibisa tapi belum pernah melihat manusia.
Ia pun menyadari bahwa Tuhan telah mengabulkan permintaannya.
Perempuan ini dinamai Boru Tantan Debata (baca: titisan Tuhan”) karena dia beranggapan Mulajadi Na Bolon mengirim perempuan tersebut untuknya.
Belakangan ia menikahi Boru Tantan Debata. Hasil pernikahan itu lahirlah seorang putra menyerupai kodok yang disebut Nairasaon.
Datu Pejel tidak terima anaknya seperti kodok. Ia pun membuangnya ke bara atau bagian bawah Rumah Batak, tempat binatang.
Datu Pejel berharap Sirasaon atau Narasaon mati dipijak kerbau di bara. Ini penyebab pertengkaran pertama antara ia dan istrinya Boru Tantan Debata.
Istrinya diam-diam mengambil anaknya dari bara dan menyembunyikannya di para-para rumah mereka.
Setiap pulang dari ladang, Boru Tantan Debata heran melihat kayu bakar yang ia jemur sebelum berangkat ke ladang, selalu tersusun rapi.
Ia pun mencari tahu siapa gerangan yang melakukan hal tersebut.
Boru Tantan Debata terkejut saat tahu bahwa yang melakukan semua itu adalah Narasaon.
Tiap selesai menyusun kayu bakar, Narasaon masuk ke dalam rumah.
Sekalipun ada anggapan wajah anak laki-lakinya seperti kodok, Boru Tantan Debata pernah melihat rupa anak laki-lakinya itu cukup tampan.
Waktu terus berlalu, Narasaon pun tumbuh menjadi remaja.
Sang Ayah menempatkannya bertapa di Gunung Simanuk-manuk. Gunung Simanuk-manuk berada di sebelah timur Desa Pardomuan Sibisa, sebelah kiri menuju Porsea dari Parapat.
Sekembalinya dari bertapa di Gunung Simanuk-manuk, Datu Pejel menyuruh Narasaon ke Limbong Samosir untuk menikahi anak pamannya.
Menikahi Anak Paman
Narasaon pun berangkat ke Limbong, Samosir. Akan tetapi, setelah sampai di Limbong, Samosir, dari ketujuh anak perempuannya, tidak ada satupun yang tertarik untuk menjadi istri Narasaon.
Mereka menolak Narasaon karena wajahnya seperti kodok.
Suatu sore secara kebetulan perempuan paling bungsu dari ketujuh tersebut melihat Narasaon sedang mandi.
Ia terpesona melihat ketampanan wajah Narasaon. Ia menyadari bahwa wajah kodok Narasaon hanya “Rumang” (baca: topeng).
Memasuki hari ketiga, Narasaon pamit untuk pulang.
Sebelum pulang pamannya mengumpulkan ketujuh anak perempuannya dan menanyakan satu per satu dari anak pertama sampai ketujuh.
Anak perempuan pertama sampai keenam tidak ada yang bersedia. Mereka tetap pada pendirian mereka saat pertama ditanyai orang tuanya.
Sang paman pun menanya anak paling bungsu, ia pun menjawab “Naroa pe Paribankki Naroakku do i. Au rade do gabe Parsonduk ni anak ni Namborukki”. Artinya” Jelekpun sepupuku itu, aku pun bersedia sebagai istrinya”.
Akhirnya Narasaon pun dinikahkan dengan si bungsu. Mengetahui bahwa Narasaon cukup tampan, menjelang pesta pernikahan, keenam anak paman Narasaon cemburu.
Mereka berenam kembali menuntut kepada orang tuanya dan bertanya kenapa mereka “dilangkahi” adiknya.
Sang ayah pun menjawab “Hamu do da inang na manjua, anggim do mangoloi. Ba molo i naso jadi be sirangan”.
Artinya,” Kaliannya wahai putriku yang menolak. Adek kalian si bungsu yang bersedia. Karena itu kita tidak boleh batalkan atau hentikan”.
Narasaon kembali ke Sibisa membawa istrinya dan menetap di sana.
Tiba saatnya istri Narasaon melahirkan. Namun anak mereka berbentuk “lambutan” (baca: bulat) dan kembar.
Mengetahui cucunya tidak cakap, lagi-lagi Datu Pejel Marah. Tindakan yang sama saat ia membuang Narasaon, pun ia lakukan. Ia membuang cucunya ke Pansur Napitu.
Boru Tantan Debata marah akan sikap suaminya Datu Pejel.
Ia pun bersumpah tidak akan pernah dikuburkan berdekatan dengan suaminya. Bukti tersebut ada sampai saat ini di Sibisa.
Kuburan Datu Pejel dan Boru Tantan Debata tidak berdekat. Ada lembah kecil sebagai pemisah.
“Sudah dua kali kamu bikin sakit sekali hatiku! Kau buang anakku Narasaon saat dia masih bayi. Kini, kau buang lagi cucuku!”.
Ia pun menghentakkan kakinya, sambil berkata,’ Kelak, kuburanku harus pisah darimu!”
Esok hari Boru Tantan Debata pergi ke jurang Pansur Napitu untuk mencari cucunya yang dibuang Datu Pejel.
Ia terkejut mendengar suara tangisan bayi cucunya. Kilat pada malam hari itu diyakininya telah membuka “lambutan” cucunya.
Karena tidak tahu siapa yang duluan lahir maka kedua bayi itu dinamai Raja Mardopang (bercabang) yakni Raja Mangatur dan Raja Mangarerak.
Narasaon terus menjalankan semedi di Gunung Simanuk-manuk.
Ia tak pernah kembali lagi. Bagi keturunan Narasaon, Gunung Simanuk-manuk diabadikan dalam Gondang Simanuk-manuk.
Sebagai Gondang Pasiarhon dan Gondang Jujungan angka Narasaon dan Boruna. Yang sampai saat ini Gondang Ini sangat populer di setiap pesta Narasaon khususnya keturunan Narasaon bermarga Sirait.
Simanuk-manuk diabadikan dalam gondang gerak dalam tortor.
Sampai saat ini hanya tinggal beberapa orang yang menguasai tor-tor tersebut. Itupun orang-orang yang memiliki jujungan.
Di antara mereka berdua (Raja Mangatur dan Raja Mangarerak) tidak tahu siapa mana yang duluan lahir. Sebab lahirnya pun berdampingan.
Keturunan Narasaon
Pernah dibuat dalam suatu pesta adat Narasaon Manortor. Si Raja Mangarerak di depan tetapi Ogung tidak berbunyi dan Raja Mangatur di depan juga Ogung tidak berbunyi.
Dibuatlah Raja Mangarerak di kanan dan Raja Mangatur di kiri. Kemudian bunyi Ogung kedengaran.
Itulah sebabnya sering disebut Raja Mangarerak Mangatur untuk si Raja Mangarerak. Raja Mangatur Mangarerak untuk si Raja Mangatur.
Raja Mangarerak memperistri Boru Hutahot mempunyai 1 anak yaitu Raja Toga Manurung dan 1 Putri Boru Similingiling.
Raja Mangatur memperistri Boru Harugasan Sagala dan punya anak 3 orang:
1. Raja Sitorus,
2. Raja Sirait,
3. Raja Butar-Butar
Demikianlah Legenda Narasaon. Narasaon memiliki Keturunan Raja Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butar-Butar.

Selanjutnya Sitorus punya anak Pane, Dori dan Boltok. Sitorus yang hampir semua merantau membuka perkampungan di sekitar Kabupaten Toba seperti Kecamatan Lumban Julu, Lumban Holbung Uluan, dan lainnya.
Penulis: Damayanti Sinaga
Editor: Damayanti Sinaga