Laporan Observasi Martondi Heritage Indonesia Foundation terhadap Bakkara (Bagian 1)

NINNA.ID-Artikel ini merupakan catatan kami para peneliti dari ‘Martondi Heritage Indonesia Foundation’ ketika melakukan kunjungan ke Bakkara. Tepatnya di beberapa desa Bakkara.

Marbun Tongah dan Dolok (Martodo) sekitarnya, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Dimulai dari 12 Agustus 2022-17 Agustus 2022.

Kami menggunakan istilah ‘kunjungan’ karena pada dasarnya semula kami hanya bermaksud untuk melakukan kunjungan kekeluargaan terhadap satu kerabat yang mengundang kami untuk menghadiri pesta adat pernikahan setempat.

Kunjungan ini kemudian dengan cepat berubah menjadi sebuah observasi berkaitan dengan sejarah, budaya dan kearifan lokal.

BERSPONSOR

Adalah karena belum lama kami baru saja melakukan bedah buku Jilid I kami yang berjudul: Lini Masa Deli Sekitarnya.

Di mana buku ini merupakan hasil penelitian kami terhadap beberapa situs sejarah di dataran tinggi dan pesisir Barat Sumatera Utara. Yang mana buku ini juga belum sepenuhnya selesai.

Kami juga telah menetapkan rencana untuk melakukan studi di wilayah pesisir Timur Sumatera Utara untuk merampungkan buku Jilid ke-II kami.

Sebagai sentral dari isi buku yaitu wilayah Deli dan di sekitarnya.

BERSPONSOR

Hasil studi kami tersebut masih begitu hangat dalam ingatan. Dan banyaknya katalog informasi hasil dari membaca berbagai literatur sejarah menjadikan kunjungan kami ke Bakkara ini dengan cepat mendorong insting dan menggerakkan ketertarikan kami untuk menghasilkan input-input baru dalam hal sejarah, budaya dan kearifan lokal.

Perjalanan kami dimulai pada malam hari dengan menempuh jalur Berastagi, Kabanjahe, Merek dan kemudian membelok ke kiri melintasi jalan Dolok Sanggul-Sidikalang.

Kemudian kami membelok ke kiri ke sebuah jalan yang belum lama ini telah diperlebar sehingga dapat dilintasi oleh mobil. Yaitu Jl. Huta Paung-Pollung.

Sebuah jalur yang ternyata cukup memberikan tantangan dalam mengemudi dikarenakan jalan yang belum sepenuhnya selesai dikerjakan dan berbelok-belok tajam.

- Advertisement -

Namun sebuah petualangan pada akhirnya menghasilkan temuan-temuan yang mengejutkan bagi siapa saja yang memiliki katalog informasi terhadap sebuah daerah.

Di mana jalur tersebut tidak dapat disangkal merupakan bagian dari wilayah jalan setapak dahulu kala dari Boho-Limbong dan mengarah ke desa Bakkara. Dan ini tergambar dalam figure. 1. Sebuah karya photo Kleingrothe, C. J tahun 1905 yang telah kami restorasi seadanya.

Aek Silang
Figure-1.-AEK-SILANG-LEMBAH-BAKKARA-TAHUN-1905

Tidak dapat disangkal, bahwa sungai yang dimaksud pada photo Figure 1 adalah ‘Aek Silang’ yang membelah lembah Bakkara dan bermuara ke danau Toba. Tampak cukup jelas lembah Bakkara berada di tengah.

Dan pada jalur inilah kami sempat tersesat tepat di puncak yang sunyi pada jam 01.00 WIB dan bertemu dengan sebuah perkebunan kopi.

Dalam tiupan hawa dingin dan jalan yang curam berbelok akhirnya berhasil menemukan jalur utama ke Batu Dinding dan turun ke lembah Bakkara.

Alam dan Lingkungan Hidup

“Tano Bakkara Toba, na mardindinghon dolok, na marhire – hire ombun, Parsampuran maragap-agap, sampuran marugup – ugup, Parbinanga sisola huta, pargadu-gadusiboltaklangit, parmuara baba lubis, Partao na songon salaon ginaru, Parriap-riap na songon hambing na modom”. (Tonggo-Tonggo Sisingamangaraja).

Sebuah penggalan doa Sisingamangaraja yang artinya : “Tanah Bakkara Toba, berdindingkan gunung, bertiraikan awan, air terjunnya bergelora, jeramnya berbuih-buih, sungainya membelah desa, tali airnya membelah langit, muaranya berpusaran, danaunya tak pernah diam riak airnya bagaikan kawanan kambing yang tertidur”.

Sebagaimana tergambar dalam penggalan doa di atas maka benar itulah yang kami temukan pada alam dan lingkungan di wilayah Bakkara. Lembah Bakkara dibelah oleh sebuah sungai utama yang disebut sebagai Aek Silang.

Yang mana menjadi batas pemisah antara Desa Marbun Dolok, Marbun Tonga dengan Desa Simamora dan Simanullang.

Di Janji terdapat air terjun bersejarah tempat persembunyian Singamangaraja XII dan lokasi pertemuan pentingnya dengan Si paronom Oppu. Sedangkan di desa Tipang terdapat air terjun si Poltak Hoda atau Sigota-gota.

Aek Silang memiliki begitu banyak anak sungai yang terpencar ke berbagai arah. Sejak dahulu kala tentunya menjadi sumber utama air bagi berbagai kebutuhan. Baik kebutuhan konsumsi dan irigasi.

Di Desa Simangulampe terdapat sungai kecil yang disebut Aek Sipangolu yang berarti air kehidupan. Yang dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Kami saksikan di dataran paling datar dan rendah terhampar sawah nan indah dan akan terlihat lebih indah dari arah atas perbukitan. Termasuk jika kita melihatnya dari arah puncak ‘Panatapan’.

Hamparan sawah nan indah ini menjadi ciri khas tersendiri dari ‘Bakkara’. Di mana Danau Toba yang indah menjadi latar yang begitu menawan.

Sayangnya, pada siang hari kami dapati air Aek Silang yang mengeruh dan menjadi dangkal. Kemungkinan dikarebakan penggunaan Aek Silang sebagai ‘Pembangkit Listrik Tenaga Air’.

Kita dapat menelusuri tradisi klasik masyarakat Bakkara dalam bercocok tanam padi dan membuat sistem pengairan dengan adanya beberapa situs dan ritus terkait.

Salah satu yang paling terkenal adalah ‘Batu Siungkapungkapon’ yang berarti ‘Batu yang diungkit – ungkit’. Atau batu ‘Panungkunan Boni’ yang berarti batu tempat bertanya tentang benih padi.

Batu ini menurut kepercayaan setempat menjadi medium bagi transfer pengetahuan Tuhan kepada manusia dalam hal bercocok tanam. Selain sebagai tempat persembahan kepada Tuhan yang Maha Esa (Mula Jadi Na Bolon).

Dahulu kala, seekor kuda hitam (Hoda Silintong) akan disembelih dan dagingnya kemudian akan dibakar di atas batu tersebut. Dan pada waktu berikutnya batu tersebut akan diangkat.

TERKAIT  Panorama Tanjungan Bikin Kamu Jatuh Hati

Apabila muncul semut – semut berwarna merah maka masyarakat akan menanam Padi Merah. Jika semut – semut berwarna putih yang muncul maka padi berwarna putihlah yang dianjurkan untuk ditanam.

Menaati hal ini adalah untuk menghindari terjadinya gagal panen. Berlokasi di Lumban Raja, ada ‘Ruma Bolon’ atau rumah besar keluarga Singamangaraja X yang sekarang di diami oleh garis keturunannya terdapat gambar ‘Boraspati Ni Tano’.

Gambar ini menghadap ke arah dinding muka ‘Ruma Bolon’. Gambar ini merupakan simbol bagi kesuburan tanah. Dan simbol bagi pertanian dan perternakan sebagai ujung tombak penghidupan.

Ruma Siamporik (lumbung padi) peninggalan lama masih dapat pula kita temukan di Desa Marbun. Komoditas pertanian seperti Padi, Bawang Merah dan Kopi tumbuh di antara bebatuan di perbukitan.

Di Desa ‘Lumban Batu’ terdapat sebuah mata air (Mual) yang disebut ‘Mual Hatuhaan’. Artinya mata air yang dituakan.

Mata air ini telah digunakan sejak dahulu kala sebagai air minum dan untuk mandi.

Airnya tidak memiliki bau dan aroma sama sekali. Airnya begitu jernih dan sejuk.

Kami mengambil dan mencoba meminumnya secara langsung. Penelitian lebih jauh tentu akan dapat memastikan tingkat kualitas dari sumber mata air ini.

Selain Mual Hatuhaan terdapat juga sumber mata air lain yang berada tak jauh dari aliran anak sungai Aek Silang yang disebut ‘Aek si Tio – Tio’. Yang berarti air yang jernih sekali.

Di beberapa jalan utama dataran paling rendah dan pada lereng-lereng perbukitan akan mudah kita temukan pohon ‘Ara’ yang tinggi besar dan rata-rata berusia tua.

Pohon ini disebut ‘Hari Hara’. Yang cukup menarik adalah pohon – pohon Ara ini tumbuh di antara batu-batu besar. Kondisi geologis Bakkara yang merupakan hasil erupsi vulkanik tentu saja berpengaruh sangat besar terhadap tingkat kesuburan tanahnya.

Batu-batu di Bakkara bisa jadi merupakan unsur penting dalam kontribusi pembentukan mineral tanahnya. Selain jenis tanahnya yang merupakan tanah ‘Andosol’.

SAWAH-DI-BATU-DINDING
Figure-4.-SAWAH-DI-BATU-DINDING

Bebatuannya bisa jadi penghasil magnesium terpenting pada tanahnya. Kita dapat pula menemukan persawahan yang ditata dengan batu-batu pegunungan ini. Hal ini dapat terlihat pada figure 4.

Figure-5.-POHON-ARA-DI-LUMBAN-BATU
Figure-5. POHON ARA DI LUMBAN BATU

Gambar berikutnya, figure. 5 adalah salah satu pohon Ara yang kami temukan di dekat Mual Luman Batu.

Pohon lain yang juga cukup menarik adalah pohon Mangga yang sepertinya tumbuh liar dibanyak tempat. Pohon ini sangat eksotis dan unik.

Kita akan sukar menemukan jenis Pohon Mangga seperti ini di wilayah lain di Indonesia.

Kita dapat mudah menemukan Pohon Mangga ini di berbagai jalan utama di Bakti Raja. Baik jalan menuju ke Janji dan jalan menuju ke Muara.

Bakti Raja adalah sebuah singkatan dari beberapa nama wilayah: Bakkara, Tipang Haroroan ni Raja. Dan atau Bakkara, Tipang, Janji Raja.

Jika kita amati beberapa photo klasik wilayah perbukitan di Bakkara dan Toba sekitarnya sebagaimana pada figure 1&11.

Terlihat jelas bahwa pepohonan Pinus tidaklah tampak terlihat sebagaimana kita mudah melihatnya sekarang ini. Pohonan Pinus memberikan karakteristik panorama di Bakkara dan Kabupaten Toba.

Pohon pinus jenis Merkuri ini bisa jadi dibawa oleh orang – orang Aceh dan atau oleh orang – orang Eropa (Belanda) pasca berakhirnya perang Batak.

Istilah ‘Toba na sae’ yang memiliki arti wilayah bagian Toba yang gundul hanya bercirikan tanah datar dan rumput ilalang.

Dan wilayah ini dahulu kala meliputi antara Silindung hingga Holbung.

Figure.-8-BEBATUAN-DI-MARBUN-DOLOK
Figure.-8-BEBATUAN-DI-MARBUN-DOLOK

Berikutnya pada figure 8 adalah contoh bebatuan yang mudah untuk ditemukan dilereng-lereng perbukitan di Bakkara.

Dalam satu wawancara kami dengan salah seorang keturunan dari Sisingamangaraja ke X yang berumur hampir 80 tahun, dikatakan bahwa ratusan tahun yang lalu muara dari Danau Toba masuk lebih jauh ke dalam dataran rendah Bakkara.

Dimana masyarakat dahulu kala lebih memilih menggunakan perahu sebagai transportasi utama. Sebagaimana terlihat dalam Figur 1, terdapat 3 lekukan pada pantai Danau Toba di Bakkara.

Sekarang ini lekukan tersebut sudah hilang. Ini tentu dikarenakan telah terjadinya pendangkalan. +/- 150 tahun yang lalu air Danau Toba kami taksir mencapai Desa Marbun.

FIgure-9.-PENDANGKALAN-TOBA
Figure Pedagangkalan Toba

Dimana akan kami jelaskan dalam bagian ‘Pemukiman Tua Terbesar’. Pendangkalan ini kami taksir mencapai Perimeter 5.42 Km dengan luas area 1.78 km2. Lihat figure 9 dan figure 10.

Figure-10.-PENDANGKALAN-TOBA-2.
Figure 10. PENDANGKALAN TOBA 2

Eratnya hubungan masyarakat Toba dengan perairan tampaknya mengubur premis tentang masyarakat Toba yang dideskripsikan sebagai masyarakat dataran tinggi yang jauh dari kehidupan air.

Sebagaimana kita ketahui, dahulu kala hingga masa perang Batak ( Singamangaraja XII ), perahu merupakan perangkat peperangan terpenting yang bukan saja digunakan sebagai medium transportasi prajurit. Tapi juga digunakan sebagai sarana peperangan di perairan.

Perahu perang besar ini disebut sebagai ‘Sulu Bolon’. Gambar berikut adalah Perahu Perang Masyarakat Toba yang didokumentasikan oleh Feilberg, K. pada tahun 1870. ( Figure 11 ).

Penulis: Dahlena S Marbun dan Martondi Rangkuti

* Dahlena S Marbun merupakan Kepala Pusat Studi Sejarah, Budaya dan Kelok UISU

* Martondi adalah Founder dan Ketua Pengurus Yayasan Martondi Heritage Indonesia & Peneliti Independen

 

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU