NINNA.ID-Ketika kita berbicara tentang kuliner khas Simalungun, mungkin yang pertama terlintas adalah “Dayok Nabinatur,” hidangan khas berbahan dasar ayam.
Namun, ada satu hidangan lain yang tak kalah menarik dan menjadi identitas kuliner Simalungun, yaitu Labar.
Makanan ini unik karena terbuat dari bahan dasar ubi kayu dan daging, terutama daging yang mengandung tulang lunak atau “garap-garap” dalam bahasa Simalungun.
Daging yang digunakan bisa berasal dari ayam, tupai, puyuh, atau bahkan kelelawar buah, meski saat ini penggunaan kelelawar buah sudah jarang.
Ketika bahan-bahan asli semakin sulit didapatkan, masyarakat Simalungun mulai memanfaatkan daging unggas sebagai pengganti.
Meskipun menggunakan daging ayam, Labar memiliki perbedaan signifikan dengan Dayok Nabinatur, mulai dari histori, cara pembuatan, hingga segmen penikmatnya.
Proses pembuatan Labar relatif sederhana. Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi daging ayam, singkong, lengkuas, sereh, kemiri, lada, bawang batak, ubi yang diiris tipis, dan sikkam (garam).
Jika tidak ada ubi, bisa digantikan dengan kelapa parut, meski di masa lalu kelapa belum menjadi komponen utama. Para leluhur hanya menggunakan ubi.
Cara memasaknya juga tidak rumit. Daging ayam yang telah dipanggang dicincang bersama semua bumbu hingga halus.
Campuran daging dan bumbu tersebut kemudian dicampur dengan ubi yang sudah diparut, dengan catatan bahwa ubi harus diperas terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan airnya.
Campuran daging, bumbu, dan ubi ini adalah Labar yang siap disajikan dan dinikmati dengan nasi putih.
Disarankan untuk menyantap Labar dengan nasi yang sudah dingin sejenak setelah dimasak untuk menikmati citarasanya dengan lebih maksimal.
Berbeda dengan dayok nabinatur yang awalnya dipersembahkan kepada raja, Labar menjadi makanan sehari-hari masyarakat Simalungun.
Historisnya, wilayah Simalungun sebagian besar berupa pegunungan atau dataran tinggi yang jauh dari danau atau sungai, sehingga sulit untuk memperoleh ikan.
Para leluhur yang hidup sebagai pemburu seringkali pulang tanpa hasil, sehingga mereka mulai beternak unggas, terutama ayam.
Namun, ayam juga memerlukan waktu sebelum bisa dipanen. Untuk memenuhi kebutuhan protein, para leluhur mencoba berbagai jenis makanan, seperti umbi-umbian dan ulat bambu.
Selain alasan protein, jumlah anggota keluarga yang besar adalah pertimbangan lain yang masuk akal.
Di masa lalu, masyarakat Simalungun sangat memegang prinsip “banyak anak, banyak rezeki.” Oleh karena itu, makanan harus mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga yang banyak.
Dulu, mereka hanya memasak sekali sehari dan makanan tersebut dibagi untuk tiga kali makan. Makanan itu juga harus mencukupi banyak anak.
Maka, dengan ketersediaan ubi sebagai sumber makanan alternatif, para leluhur menemukan solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan bahan makanan.
Di masa sekarang, ketika berbagai pilihan makanan modern telah hadir, dan program keluarga berencana telah sukses, kuliner Labar perlahan mulai terlupakan.
Namun, beberapa komunitas, gereja, suku Simalungun, dan sejumlah rumah makan khas Simalungun masih menjaga dan menyajikan Labar sebagai menu unggulan.
Bahkan beberapa lapo tuak di Toba, yang menyajikan minuman tradisional khas, memasang Labar sebagai hidangan pendamping.
Sejarah panjang dan cerdiknya para leluhur dalam menciptakan makanan yang memenuhi kebutuhan mereka pada zamannya adalah sesuatu yang perlu dihargai.
Maka dari itu, kita perlu menjaga dan melestarikan kuliner ini sebagai bagian dari warisan budaya Simalungun yang kaya.
Jangan biarkan Labar terlupakan, karena di balik setiap hidangan ada cerita yang unik dan makna mendalam.
Penulis: Dedy Hutajulu
Editor: Damayanti Sinaga