Kongres Budaya Batak Berbahasa Indonesia

NINNA.ID – Batak punya agenda. Namanya kongres. Entah ini jangka panjang. Yang pasti, diberi label: kongres I. Berarti akan ada yang kedua. Bagaimana yang kedua? Mari tak usah dipikirkan. Kongres pertama saja sudah menarik. Ada pra. Dilaksanakan di IAKN Tarutung. Rencananya, ada pula pasca. Jadi label I saja sudah kompleks.

Topiknya menarik. Tentang aksara. Juga tata bahasa Batak. Agak sesuai dengan mimpi saya dulunya. Dulu memang, saya punya ambisi. Ambisi itu adalah membuat buku pedoman bahasa Batak. Tekniknya mengadopsi EYD dalam bahasa Indonesia. Apalagi basis keilmuan saya adalah bahasa. Mudah-mudahan buku itu terbit. Secepatnya.

Setelah itu, saya mungkin akan membacanya. Menilai. Lalu akhirnya, membuat buku pedoman baru berdasarkan karya mereka. Bukan tandingan. Sebab, belum tentu setelah saya buat bukunya maka ada yang menerbitkan. Satu yang pasti, saya akan menilai lalu memperbaiki sesuai cara pandang bahasa. Ilmu yang digunakan tentu ilmu bahasa.

Bahasa memang ilmu. Secara gramatikal, semua bahasa mirip. Secara pembentukan kata, juga mirip. Mudah-mudahan segera terbit. Sebab, buku seperti itu sangat dibutuhkan. Dibutuhkan sekali supaya bahasa itu berkembang. Dari bahasa percakapan menuju bahasa keilmuan. Itulah yang sempat saya pikirkan dalam sebuah agenda.

BERSPONSOR

Namanya Batak Meeting Writers. Tetapi, belum ada pihak yang tertarik. Agenda literasi memang masih kurang menarik. Bagi pemerintah. Bagi swasta. Padahal, ada banyak perusahaan swasta yang besar di Tanah Batak. Ada juga BUMN. Andai dana CSR bisa dibuat, mungkin akan lebih indah. Tetapi, semua ada masanya.

Kali ini, mungkin belum ada yang tertarik. Namun, ke depan, siapa yang tahu? Jangan-jangan, misalnya, Donald Sihombing terpikir untuk menyumbangkan sedikit uangnya. Siapa tahu. Biar Humbang menjadi pusat literasi atau museum Batak. Mungkin saja ia terpikir begitu. Mungkin juga tidak. Tapi, saya bahagia.

TERKAIT  Partungkoan

Batak kini punya momentumnya. Oppung Luhut pun peduli. Ia membuka Kongres Batak itu. Ini adalah bentuk perhatian. Kecil tapi berarti. Semoga ada penerus Ompung Luhut. Maksudnya penerus, ya, peduli pada Tanah Batak. Entah itu Toba. Entah itu budayanya. Ritusnya. Pokoknya, segalanya tentang Batak. Batak bersatu pasti keren.

Tetapi, Batak, ya, harus Batak. Jangan Batak KTP. Saat ini, cukup banyak sudah Batak KTP. Di kota, anak orang Batak justru meledek bahasa Batak. Mereka bangga tak bisa berbahasa Batak. Orang tua pun tak peduli. Mereka pulang kampung. Mereka tak membawa apa-apa. Mereka hanya membawa kritik. Juga oleh-oleh bahasa Indonesia.

BERSPONSOR

Kini, tidak hanya di kota. Seperti kata Ompung Luhut, di jantung Toba, mulai banyak anak tak berbahasa Batak. Padahal, sesama Batak loh? Aneh bin ajaib. Apakah ini namanya bangga sebagai Batak? Bisa didebat. Tapi, bagi saya, apa yang dibanggakan dari situ: tak bisa berbahasa Batak? Apakah cukup bangga hanya karena punya marga?

Kita bisa mencontoh Jawa. Di Jogjakarta, warga sering berbahasa Jawa. Mereka bangga sebagai Jawa dengan bahasanya. Maka, di tempat-tempat umum, bahasa Jawa bersanding dengan bahasa Indonesia. Dengan bahasa Inggris. Artinya, ketiganya sederajat. Di bandara, pengumuman juga disampaikan dengan tiga bahasa. Kita bagaimana?

Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU