Medan, NINNA.ID-Komisi II DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik ke Provinsi Sumatera Utara untuk meninjau langsung persoalan serius yang selama ini membayangi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat: konflik agraria.
Dalam pertemuan resmi yang digelar di Aula Raja Inal Siregar, Lantai 2 Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro No. 30, Medan, Kamis (3/7), turut hadir berbagai pihak strategis, termasuk Gubernur Sumatera Utara dan sejumlah kepala daerah dari kabupaten/kota, bersama jajaran Badan Pertanahan Nasional.
Salah satu dari antara kepala daerah tersebut yakni Bupati Samosir Vandiko Timotius Gultom.
Isu utama yang diangkat adalah pelayanan pertanahan, penerimaan negara bukan pajak di sektor pertanahan, dan terutama penyelesaian konflik tata ruang yang terus berulang di berbagai wilayah Sumut.
Data Kanwil BPN Sumut mencatat bahwa daerah ini mencatat konflik agraria tertinggi secara nasional, dengan luas konflik mencapai 34.000 hektare dalam 33 kasus, di mana 20 di antaranya terjadi di area konsesi PTPN.
Permasalahan ini tak lagi sekadar tumpang tindih klaim antara masyarakat, perusahaan, dan hak adat. Ketidakjelasan status tanah pasca-HGU yang tidak diperbarui menjadi akar ketegangan yang memicu dampak sosial, ekonomi, bahkan ekologis.
Gubernur Sumut menegaskan, konflik agraria ini sudah berlangsung puluhan tahun dan selalu menjadi isu politik menjelang pemilu, namun tidak pernah benar-benar diselesaikan.
Kehadiran Komisi II DPR RI diharapkan menjadi titik balik. Ketua Komisi II, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan komitmen untuk menyampaikan langsung temuan dan aspirasi dari Sumut kepada Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan agar kebijakan lintas kementerian dapat segera diambil.
Penyelesaian konflik agraria bukan hanya soal keadilan agraria, tapi menyangkut masa depan tata ruang, investasi, perlindungan masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan.
Diperlukan transparansi, reformasi sistem pertanahan, dan kolaborasi nyata antara pemerintah pusat, daerah, dan seluruh pemangku kepentingan. Jika tidak, konflik akan terus berulang, dan masyarakatlah yang menjadi korban berkepanjangan.
Publik perlu mendorong akuntabilitas. Sebab tanpa tekanan dan pengawasan dari masyarakat, janji-janji politik dan rencana-rencana teknokratik tak akan cukup menghentikan krisis agraria yang telah berlangsung terlalu lama ini.
Penulis: PR Samosir
Editor: Damayanti Sinaga