TAPUT – Di tempat lain, namanya durian. Tapi di sini, namanya tarutung. Ya, Tarutung Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Utara itu mengambil nama durian, dalam bahasa Batak, tarutung.
Dikisahkan, di Tapanuli Utara (Taput) ada pohon besar yang memiliki nilai sejarah. Menjadi saksi bisu perjalanan panjang dan hiruk pikuk kehidupan dan perkembangan zaman masyarakat sekitarnya, dari dulu sampai sekarang. Pohon itu bernama pohon tarutung, punya makna tersendiri di sana.
Letaknya berada di Jalan Suprapto Tarutung atau lebih tepatnya di depan Rumah Dinas Bupati Taput. Sekitar 10 sampai 15 meter menurun dari lokasi pohon, langsung berada di Jalan SM Raja Tarutung.
Konon, di bawah pohon tarutung ini dulunya merupakan salah satu sentra pertemuan dan tempat persinggahan para Raja Bius (tokoh-tokoh adat) Batak, yang datang dari berbagai penjuru di Wilayah Tapanuli. Seperti dari Toba, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Dairi. Begitu juga yang datang dari Sibolga, Sipirok, dan Tapanuli Tengah (Tapteng).
Seringnya pertemuan para tokoh tokoh di tempat ini, nama tarutung sering disebutkan. Belakangan, nama pohon itu ditetapkan menjadi nama Ibu Kota Pemerintah Daerah Tingkat II (DATI II) Tapanuli Utara hingga sekarang.
Menurut penuturan salah seorang warga Kota Tarutung, Jansen Simanjuntak, bahwa pohon durian ini menjadi identitas Kota Tarutung, yang juga dikenal sebagai daerah Silindung. Tempat ini, kata dia, berkembang menjadi lokasi transaksi bagi para pedagang dari luar daerah.
“Para pedagang dari kawasan Rura Silindung maupun dari luar (misalnya Siborongborong, Sibolga, Balige) sering memanfaat kesejukan pohon tarutung sebagai lokasi transaksi, sehingga kini pohon durian ini menjadi identitas kota,” ujar pria berusia 69 tahun itu, saat berbincang dengan NINNA.ID baru-baru ini.
Diceritakannya, konon sebelum Tarutung menjadi kota seperti sekarang, kawasan ini merupakan rawa. Pusat perdagangan sebelumnya ada di Saitnihuta yang disebut Onan Sitahuru (sekarang Hutatoruan IV).
“Namun masyarakat di kawasan Silindung cenderung memanfaatkan lahan sekitar pohon tarutung (durian) itu menjadi tempat pertemuan dan transaksi perdagangan,” ujarnya, mengingat kisah para orang tua terdahulu.
Hilangnya rawa dari daerah itu, diduga berkaitan dengan kedatangan bangsa Belanda di wilayah Silindung dipenghujung abad XVIII. Saat itu dimulai pembangun di daerah Silindung dengan bangunan kayu yang tertata rapi dan sekaligus membenahi aliran Sungai Sigeaon.
“Sehingga daerah dan kawasan ini tidak lagi menjadi rawa. Lambat laun sudah menjadi kawasan pemukiman yang mulai padat penduduk disebutlah Kota Tarutung,” sambungnya.
Setelah melintasi jaman, pohon durian Tarutung ini masih tetap hidup dan setia menemani Rura Silindung. Bahkan, pohon ini semakin tumbuh besar dan tetap berbuah.
Saat ini, di sekitar pohon dijadikan warga sekitar sebagai tempat bersantai, berteduh sembari menikmati udara segar. Jika sedang traveling ke Kota Tarutung, jangan lupa untuk mengabadikan momen anda di pohon durian bersejarah ini.
Penulis : Billy S
Editor : Mahadi Sitanggang