NINNA.ID-Hampir setiap tahun, Pemerintah Pusat mengguyurkan anggaran miliaran rupiah untuk menggelar event megah bertajuk Power Boat dan Aquabike di Kawasan Danau Toba.
Semuanya tampak mengilap di atas kertas: kejuaraan dunia, nama besar, promosi pariwisata kelas internasional.
Tapi setelah balapan selesai, air tenang Danau Toba kembali menyimpan diamādan pertanyaan: ke mana semua dampaknya?
Di sisi lain, ada sekelompok orang yang tak pernah menunggu aba-aba dari sirene start.
Mereka adalah para pemandu wisata lokal, travel agent independen, dan komunitas kecil yang tahun demi tahun berhasil membawa turis Eropa ke tanah Batak.
Tanpa konferensi pers, tanpa panggung megah, tanpa anggaran fantastis. Mereka hanya mengandalkan kredibilitas, cerita lokal, dan jaringan yang dirajut dari satu tamu ke tamu berikutnya.

Anehnya, pemerintah seakan lebih percaya pada dentuman mesin kapal daripada suara pelaku pariwisata lokal.
Di Samosir, ada anak-anak muda yang berlatih menjadi tour guide. Bukan dalam ruang kelas ber-AC, tapi langsung turun ke lapangan. Membimbing dan menemani perjalanan tamu.
Mereka tak minta dana besarāhanya transportasi untuk praktik. Tapi itupun harus dilobi, disodorkan proposal, dan menunggu ‘payung hukum’ yang tak kunjung terbuka.
Sementara itu, travel agent dari Medanāyang bahkan sering tak menyertakan pemandu lokalāmenutup semua mata rantai bisnis.
Mulai dari transportasi hingga cerita sejarah. Mereka ambil semuanya. Tak ada ruang untuk lokal. Bahkan penjelasan tentang sejarah Siallagan pun digarap ala kadarnya.
Kadang ngawur. Tapi siapa yang bisa protes? Tak ada perlindungan hukum. Tak ada regulasi. Tak ada keberpihakan.
Di Bukit Lawang, biaya untuk full day trekking +lunch+ tubing dikenakan Rp650.000 per tamu.
Di Samosir guide fee yang terbilang jauh lebih terjangkau Rp300.000 untuk per grup pun kadang tak rela dikeluarkan.
Yang lebih menyedihkan, gedung-gedung pelabuhan hasil proyek prestisius kini berdiri kosong. Sunyi. Pernah diresmikan dengan meriah, tapi kini hanya dihuni debu dan kenangan.
Kapal lintasan pun satu per satu berhenti beroperasi. Silalahi, Simanindo, Tonggingādan lainnya semuanya punya cerita yang sama: dulu sempat berharap, sekarang cuma menunggu.
Bukankah lebih masuk akal jika pemerintah duduk bersama pelaku di lapangan? Mendengar kebutuhan riil mereka.
Membantu bukan sekadar pencitraan proyek besar, tapi menciptakan ekosistem yang berkeadilan: di mana SDM lokal naik kelas, bukan hanya jadi penonton di tanahnya sendiri.
Kenapa Power Boat dan Aquabike tak pernah benar-benar membangkitkan ekonomi sekitar? Karena mesin kapal tak bisa menggantikan mesin cerita.
Karena branding tak bisa menggantikan sentuhan manusia yang tahu setiap sudut kampung. Karena balapan internasional itu hanya terjadi di airāsementara perjuangan lokal, tiap hari, berdarah-darah di darat.
Dan begitulah ceritanya: ketika Power Boat melaju di Danau Toba, kenyataannya pelaku pariwisata justru jalan di tempat.
Dan kalau tak ada perubahan arah, bukan tidak mungkin anak muda lokal yang tersisa akan memilih balapan jugaāmeninggalkan kampung halaman, mengejar hidup di luar kawasan yang katanya “super prioritas” itu.
Kalau begitu, untuk siapa sebenarnya panggung besar ini dibangun?
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga