HUMBAHAS – Budayawan Batak, Thompson Hs, baru-baru ini melemparkan wacana terkait kurangnya sense of history orang Batak. Ia mengutip seorang Jesuit tentang hebatnya orang Batak. Namun, kata Thompson Hs, sembari mengutip Jesuit tersebut, yang kurang dari orang Batak adalah sense of history.
Saya tak akan langsung menuduh Anda, Anda, dan Anda. Saya juga sedang introspeksi diri kok. Saya sendiri mulai tersadar bahwa saya tak bangga menjadi Batak. Atau, kalau pun bangga, kebanggan menjadi Batak itu cenderung lemah. Arti cenderung lemah karena justru beraroma negatif: saya orang Batak, saya ganas. Begitu kita berujar sering kali.
Saya merenungkannya. Ternyata, kebanggaan kita itu hanya untuk membenarkan bahwa kita ganas bahkan temperamental supaya orang lain tak main-main kepada kita. Saya pikir, itu kebanggaan yang lemah, bukan? Coba, apakah ada kebanggaan lain? Kalau ada, apakah kebanggaan itu kita hidupi atau hanya sebatas formalitas saja?
Baik, mari kita berangkat dari sini dulu: marga. Sekali lagi, saya tak akan menuduh Anda. Toh, saya berada pada posisi yang sama. Jika pun ada bedanya, itu masih sebatas bahwa saya mulai mencintai sejarah akar budaya kita. Masih sebatas itu. Dan, barangkali, setelah membaca dan merenungkan esai singkat ini, Anda pun mungkin akan memilih berada pada posisi yang sama dengan saya. Semoga saja biar ada makna tulisan ini.
Langsung saja kita mulai dari fakta ini: bahkan dua-tiga orang siswa saya pun sudah tak memakai marga di belakang namanya. Alasannya adalah supaya nanti gampang mencari kerja dan tidak dinilai Batak kali. Begini. Saya mengajar di SMAN 1 Doloksanggul. Itu adalah pusat kota Humbang Hasundutan. Ringkasnya, ini daerah Batak tulen. Lalu, mengapa mereka malu dinilai Batak kali di Tanah Batak? Apakah kita harus Jawa kali atau ini: Korea kali di Tanah Batak?
Kata sang siswa untuk membela: “Ini bukan pilihanku, Pak.” Ya, saya mengerti. Barangkali Sang Ayah punya pengalaman pahit dengan marganya. Mungkin ia dikucilkan. Mungkin ia malah tak dapat pekerjaan karena marga. Intinya, ini bukan salah anak itu. Tetapi, apakah marga adalah aib, bahkan racun? Apakah marga akan menutup kemungkinan menjadi diterima di perusahaan-perusahaan besar?
Barangkali, ya. Tetapi, saya melihat ada cukup kok banyak orang bermarga yang hebat. Jadi, jika marga itu dinilai sebagai penghalang untuk diterima bekerja, itu hanya untuk membenarkan bahwa ia tak percaya diri dengan marganya. Mohon maaf: apakah orang Batak, khususnya Kristen lebih sulit aksesnya atau lebih tinggi nilai penolakannya daripada orang Tionghoa? Tidak, bukan? Lalu, mengapa orang Tionghoa tak malu?
Sesekali, dan inilah alasan kedua setelah marga, jika Anda melihat dua saja orang Tionghoa di angkot, di kedai, di jalan, atau di mana pun, mereka akan langsung berbicara dengan bahasa mereka. Nah, kita? Setiba di kota, sesama kita orang Batak pun bahkan akan langsung berbahasa nasional. Tak salah memang karena kita orang Indonesia. Tetapi, apakah kalau berbahasa Batak dengan sesama kita, maka kita akan salah?
Di sebuah malam yang dingin, di sebuah lepau di Bakara, Pak Lukas yang adalah mantan Kepala Arkeologi Sumatera Utara pernah bercerita betapa orang Jawa itu sangat akrab dengan budaya mereka. Semua informasi akar budaya mereka gali dan dan mereka kembangkan. Mereka tak malu jadi Jawa. Sebaliknya dengan kita, entah karena alasan apa, mungkin agama, mungkin modernisasi, mungkin pula ketakutan, kita malah mengabaikan akar-akar itu.
Coba kita tanya: apakah orang Jawa maju karena melupakan akarnya? Apakah orang Tiongkok berhasil setelah mencerabut dirinya dari akarnya? Apakah negara Eropa makin terdepan setelah melepaskan diri mereka dari akar kebudayaannya? Kalau tidak, mengapa kita justru melakukan yang terbalik dengan mencerabut diri dari akar hanya karena agama, modernisasi, bahkan ketakutan, misalnya?
Akar yang kuat memang tak akan memberimu segalanya. Itu benar. Tetapi, dengan akar yang kuat, setidaknya kamu bisa hidup ketika mendung, ketika panas, ketika hujan, ketika kemarau. Sebaliknya, akar yang lemah akan membuatmu tak bertahan hidup di segala musim. Mekar di musim hujan, eh, seketika kemarau, langsung layu atau agar tak layu, kamu pun menumpang pada akar orang lain seakan kamu tak punya akar sendiri. Kami bukan lagi kamu. Kamu akhirnya tak punya jati diri.
Terkesan saya memarahi Anda pada esai ini. Tetapi percayalah, saya sebenarnya sedang marah pada diri saya sendiri. Marah mengapa saya lebih tahu kisah orang lain daripada kisah saya sendiri. Inilah definisi terbaik dari kurangnya sense of history yang dikutip oleh Thompson Hs itu: lupa pada diri sendiri. Jadi, ayo, jangan salahkan orang lain ketika melupakanmu karena justru ada fakta yang jauh lebih jahat: kamu pun melupakan dirimu sendiri.
Ini tentang silsilah. Ini tentang tarombo. Ini tentang kamu, maksudku: juga tentang saya. Supaya mudah, baik saya ceritakan sedikit pengalaman. Ketika masuk kelas, saya memanggil nama setiap siswa lengkap dengan marganya. Saya sebenarnya sedang ingin belajar karena itu saya bertanya. Misalkan nama siswa itu Hermanto Simanullang. Saya pun bertanya pada dia: parsadaan kalian masuk ke mana?
Maksud pertanyaan saya adalah supaya ia tahu dan orang lain pun tahu bahwa ia masuk pada grup besar Si Raja Oloan. Kadang, di pertanyaan lain, saya bertanya agar saya tahu mereka masuk pada grup besar yang mana. Licik sih: bertanya seolah menguji, padahal hanya ingin tahu. Nah, pertanyaan lain pun saya ajukan: kamu Simanullang yang mana? Pertanyaan itu sekilas tak ada manfaatnya. Tetapi, bagi saya, manfaatnya sungguh besar.
Anda tahu mengapa sejarah kita banyak yang hilang? Itu karena tak ada yang memberi tahu dan tak ada yang bertanya. Coba dibalik: andai ada yang bertanya dan ada yang memberi tahu, terlebih ada yang menuliskan, pasti sejarah itu tak simpang siur bukan? Silsilah marga sebenarnya cara ampuh bagi kita untuk mencari sejarah dan missing link di Tanah Batak. Persoalannya sekarang, tren marga itu sudah mulai dilepaskan. Kalau pun tak dilepaskan, grup besar marga itu sendiri sudah tak diketahui. Jadilah marga itu, ya, sebatas pelengkap nama. Tak berjiwa sama sekali. Bahasa Bataknya begini: dang manghuling be mudar i.
Maksud saya, melalui esai singkat ini, ayo mulai mencintai akar sejarah kita sendiri. Jangan pelit memberi tahu dan jangan malu untuk bertanya. Mengapa, misalnya, nilai-nilai kita hilang meski telah dituliskan di Pustaha Laklak? Satu saja: karena kita pelit memberi tahu. Akhirnya, begitu Pustaha Laklak dicuri Belanda, kita pun melupakan semuanya. Dan, hasilnya saat ini, kita mulai malu dengan diri kita sendiri. Coba bayangkan semua orang tua saat ini, apakah kebatakan itu masih kental?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang