NINNA.ID -Kita semua tahu, bangsa kolonialias dari Eropa datang untuk menguasai komoditas rempah. Ceritanya bermula pada akhir abad ke-16, tepatnya tahun 1596. Ketika itu Cornelius de Houtman datang ke Banten. Ditolak di Banten. Lalu pergi ke Jawa. Ditawan oleh pembajak. Lalu, ke Bali. Berniaga di sana. Datang kembali ke Banten. Dan, mulai aktif menguasai perdagangan rempah.
Mereka dikabarkan datang dengan empat kapal. Keempat kapal tersebut adalah Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken. Berangkat 249 orang, pulang selamat hanya 87 orang. Lebih banyak yang mati dari selamat. Ini jadi bukti bahwa jalur untuk mencapai rempah tak ramah dan cukup berisiko. Ada banyak ancaman bahaya. Berangkat sehat, belum tentu sampai selamat, apalagi pulang.
Tetapi, jalur tak ramah itu setimpal dengan komoditas rempah. Malah, meski pulang selamat hanya 87 orang, mereka mengaku beruntung banyak. Dan, justru karena itu, mereka kembali datang ke Nusantara dengan lebih banyak orang lagi. Cornelius de Houtman pun ikut serta. Ia tak peduli berapa yang selamat nantinya. Baginya, komoditas rempah di Nusantara adalah surga.
Tetapi, ia picik dan licik. Ia disambut ramah. Dibalas dengan manipulasi dan keserakahan. Maka, Cornelius de Houtman diburu. Tetapi, cara memburunya tak mengobarkan perang. Sultan Aceh kala itu mengutus panglimanya. Panglimanya berlagak sebagai pedagang. Mereka pun bertemu di geladak kapal. Cornelius de Houtman bersiap untuk berdagang. Ia sama sekali tak bersiap untuk bertarung.
Maka, ia pun tewas oleh panglima hanya dengan sebilah pedang. Itulah cerita pada tahun 1590-1599. Sekitar 422 tahun dihitung dari sejak sekarang. Berarti, hampir segenerasi dengan peradaban Si Raja Batak di Pusuk Buhit. Atau, paling tidak belum jauh-jauh. Marga-marga saat itu juga belum ada. Batak mungkin masih mengalami evolusinya sebagai peradaban baru di balik-balik hutan.
Saya menceritakan itu supaya kita bisa membayangkan betapa sulitnya akses menuju Nusantara. Namun, kesulitan itu setimpal dengan semua komoditas rempah, seperti lada, jahe, kunyit, pala, dan sebagainya. Namun, kisah itu, meski sudah 422 tahun, boleh dibilang masih kemarin sore. Sebab, ternyata, ada jalur yang lebih tua. Ada hitungan yang menyebutkan lebih dari 2.000 tahun. Berarti, sebelum Yesus lahir.
Tetapi, mari membuat temuan baru yang mungkin lebih objektif. Jadi, baru saja ditemukan para peneliti di BRIN tentang kemungkinan peradaban di daerah Tapanuli. Pada penelitian arkeologis itu, mereka menemukan manik-manik buatan Romawi di Mesir. Konon, manik-manik itu diproduksi pada abad ke-1 sampai ke-4. Diekspor ke belahan dunia sebagai alat barter untuk komoditas yang dianggap senilai. Maka, sampailah manik-manik itu di Tapanuli Tengah.
Dari sana kita tak bisa menolak fakta bahwa peradaban di daerah Tapanuli sudah lama. Lama sekali. Secara silsilah, masih jauh di atas Si Raja Batak. Karena itulah saya punya keyakinan, jalur perdagangan kuno ketika orang Mesir dan Persia datang ke Barus, dulunya dihidupi orang Batak juga. Siapa lagi kalau bukan orang Batak bukan? Tak mungkin orang Timur Tengah datang ke pulau tak berpenghuni.
Hanya memang, saat itu, Batak belum bersilsilah. Jadi, saya sebut saja, Batak sebelum silsilah. Nah, mengapa mereka datang ke Barus? Pertanyaan ini sepertinya sederhana, tetapi serius. Serius karena pada era Cornelius de Houtman, transportasi mulai lancar. Sudah ada penemuan mesin. Namun, pada awal tahun Masehi, atau katakanlah pada tahun di bawah 1.000-an, mesin belum ada. Petunjuk arah belum pasti.
Jadi, wajar membayangkan mereka datang 1.000 orang, tetapi yang sampai mungkin hanya 500 orang. Yang berhasil pulang mungkin cuma 200 orang. Logis saja. Peralatan belum memadai. Petunjuk arah hanya dari rasi bintang. Tetapi itu semua setimpal. Puluhan ribu kilometer, berbulan hingga bertahun di laut, lalu dibayar dengan kemenyan atau juga kapur Barus. Sesuatu yang sangat mewah saat itu. Mereka bertukar barang. Dengan bahasa yang tak mereka mengerti.
Permintaan yang tinggi atas kemenyan dan kapur Barus membuat Tapanuli menjadi populer.
Daerah ini menjadi pusat peradaban. Sampai akhirnya, satu-satunya bahasa asing yang dimasukkan ke Alquran dari Nusantara adalah dari Barus. Saya dulu berpikir apakah kemenyan itu dibawa ke negeri nun jauh hanya getahnya atau sudah diolah? Ternyata, dari hasil tafsir temuan baru, getah kemenyan itu sudah diolah di Tapanuli, terutama di Tapanuli Tengah.
Temuan aneka gelas kimia menunjukkan komoditas dari Tapanuli, yakni kapur barus dan kemenyan, sudah diolah menjadi produk berupa minyak. Temuan berbagai alat kesehatan juga menunjukkan situasi di situs sangat kompleks.
“Seolah-olah komoditas yang diperdagangkan merupakan bahan mentah, seperti kapur barus atau kemenyan, tetapi ternyata sudah diolah menjadi minyak,” kata Ketut, Koordinator Peneliti Kawasan Sumut Kantor Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasiona).
Artinya, saat itu sudah ada bibit industri. Kini justru terbalik. Perdagangan kemenyan lebih merupakan bahan mentah, bahkan sistem perdagangannya pun tertutup. Pamor kemenyan mulai meredup. Tak ada ambisi untuk mengenang jalur istimewa di Tapanuli, bahkan di Humbang Hasundutan. Semua hanya berebut menanam bawang dan jagung dan nyaris tak ada dukungan untuk petani Kemenyan. Mungkin, karena kemenyan dekat dengan dukun, kali, ya?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang