Kekompakan Orang Batak

NINNA.ID – Ada cerita lucu. Ini saya dengar dari guru sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Jadi, ada seorang penjual, orang Batak. Ada pembeli dengan bahasa Indonesia. Dia beri harga Rp10.000. Ada pembeli lagi. Kali ini berbahasa Inggris. Dia beri harga Rp50.000. Naik lima kali lipat. Berbahasa ternyata bisa menjadi bagian dari nilai tawar.

Guru itu melanjutkan cerita. Muncul seorang Batak. Ia membeli dengan bahasa Batak. Harganya turun 50 persen sehingga jadi Rp5.000. Karena berbahasa Batak, mereka ngobrol lagi. Jatuh-jatuhnya martarombo. Dan, dari tarombo itu, ternyata hubungan mereka dekat. Akhirnya, jualan itu gratis. Malah ditambah lagi dengan oleh-oleh.

Tentu saja itu hanya cerita. Jika ada kebenaran seperti itu, maka penjual pasti sudah gulung tikar. Namun, sewaktu SD, saya menerima cerita itu dengan sangat polos. Imajinasi yang berkembang dalam kepala saya adalah bahwa orang Batak itu sangat dekat dan lekat. Orang Batak itu sangat kompak. Hanya dengan bahasa, mereka bisa menurunkan ego.

Kini, setelah dewasa, saya mengerti bahwa cerita itu hanya pelecut. Cerita itu hanya imajinasi agar saya sebagai orang Batak mempunyai rasa cinta pada Batak. Tentu harus sesuai konteks. Tetapi, berkat cerita itu, saya kini punya pendirian: dengan posisi yang sama, misalkan ada Batak dan Non-Batak, maka tanpa ragu saya akan memilih Batak.

BERSPONSOR

Dalam kacamata seperti itulah saya memandang kasus Brigadir J. Lalu, menulis pula esai sederhana terkait itu dengan judul: Pertarungan Anak Sibagot Ni Pohan pada Kasus Brigadir J. Pada esai itu, tanpa sulit dipahami, saya betul-betul mendukung Kamaruddin Simanjuntak sebagai pengacara Brigadir J.

Di lain pihak, saya tidak respek pada Silitonga dan Boru Simangunsong. Menanggapi tulisan itu, orang-orang lantas berkomentar: tak seharusnya kasus kriminal dikait-kaitkan dengan profesi. Saya bersetuju. Termasuk contoh turunannya misalnya. Tak mungkin dong hanya karena sesama Batak, polisi melepaskan pecandu narkoba.

TERKAIT  Sejak Kapan Kita Manortori Salimut dan Bukan Ulos?

Maksudnya, kasusnya harus dipilah-pilah. Namun, justru dalam hal ini kita juga harus memilih dan memilah. Katakan misalnya kasus Brigadir J. Dari sudut pandang Brigadir J, apakah Brigadir J adalah pelaku kriminal? Atau, jadi korban kriminal? Kalau jadi korban kriminal, lalu bagaimana? Apakah atas nama profesi, kita tetap ngotot?

Sekali lagi, harus ditegaskan. Saya tak sedang pada posisi untuk mengait-kaitkan profesionalisme dengan kesukuan, terutama kriminal. Bukan itu tujuan saya. Tujuan saya sederhana: jikalau dugaan bahwa seorang Batak cenderung korban, masakan kita harus menjadikannya sebagai tersangka atas nama hanya karena itu adalah profesi saya, misalnya?

BERSPONSOR

Toh, profesi itu pula bukan bagian dari kewajiban. Profesi ini ibarat berdagang. Barangnya tergantung kita: dijual atau tidak. Jadi, ini bukan seperti polisi. Polisi mau tak mau tugasnya sudah melekat: dibayar atau tak dibayar, diminta atau tak diminta. Itulah profesi yang melekat. Saya pikir, profesi pengacara tidak selalu melekat. Itu tergantung pengacaranya.

Ia bisa saja menolak atas nama banyak hal. Katakan, misalnya, untuk kasus Brigadir J. Ia orang Batak. Ia cenderung korban. Contohlah saya kebetulan pengacara. Tugas saya membela klien. Tetapi, sebagai pengacara, yang tugasnya tergantung kita mau atau tak mau, saya tentu tak akan menerima begitu saja. Ini bukan hanya soal moral. Ini soal tentang cerita guruku di atas.

 

Penulis    : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor       : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU