NINNA.ID-Dunia yang serba digital menuntut semua pelaku bisnis harus beralih ke digital. Tidak terkecuali di sektor pariwisata. Apalagi sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang kerap bersentuhan dengan masyarakat.
Danau Toba menjadi salah satu destinasi wisata yang kerap dikunjungi wisatawan. Danau yang dikelilingi delapan kabupaten ini menjadi salah satu destinasi super prioritas Indonesia karena kemegahan dan keunikannya.
Tiap tahun ratusan ribu wisatawan masuk ke Kawasan Danau Toba untuk berlibur.
Publikasi Statistik kunjungan wisatawan mancanegara Sumut oleh BPS Sumut menunjukkan secara keseluruhan ada 10 negara utama penyumbang wisman terbesar yang datang ke Sumut: Malaysia, Singapura, RRC (Tiongkok), Belanda, Jerman, Australia, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Taiwan.
Rata-rata wisatawan tersebut mengandalkan pembayaran non tunai untuk transaksi pembayaran. Akan tetapi belum semua pelaku pariwisata di Kawasan Danau Toba menerima pembayaran non tunai.
Data BI menunjukkan bahwa transaksi nontunai melalui mesin EDC di Danau Toba didominasi sektor ritel dengan transaksi Rp27,0 miliar; hotel dan akomodasi Rp25,9 miliar; toko cendera mata Rp6,3 miliar, transportasi Rp1,6 miliar, restoran dan hiburan Rp1,3 miliar, serta paket wisata Rp141,8 juta.
Mesin electronic data capture (EDC) dan anjungan tunai mandiri (ATM) di Danau Toba, Sumatra Utara, masih terbatas. Hal ini kerap dikeluhkan para wisatawan.

Andi S. Wiyana semasa menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia Perwakilan Sumut mengungkapkan para wisatawan kerap mengeluhkan ketersediaan mesin EDC dan ATM di Danau Toba karena kesulitan melakukan transaksi nontunai.
Menurutnya, transaksi nontunai kerap menjadi pilihan karena para turis tidak perlu membawa uang tunai terlalu banyak saat bepergian.
Minimnya ketersediaan mesin EDC dan ATM, kata Andi, disebabkan beberapa hal.
Pertama, transaksi yang tercatat belum begitu tinggi sehingga pihak perbankan belum melihat kebutuhan penambahan jaringan mesin di Danau Toba.
Di sisi lain, menurutnya, kecilnya volume transaksi bukan berarti tidak ada kunjungan, melainkan karena wisatawan tidak mendapat informasi lokasi-lokasi mesin EDC dan ATM.
Kedua, ketersediaan jaringan telekomunikasi di Danau Toba belum merata sehingga perbankan ragu untuk menambah mesin EDC dan ATM lebih masif.
Kualitas data yang tidak stabil, lanjutnya, menjadi pertimbangan utama perbankan terkait penyebaran mesin untuk meningkatkan transaksi nontunai.
“Masalahnya, komunikasi. Jaringan telekomunikasi di Danau Toba, masih ada daerah-daerah yang susah dilakukan layanan nontunai yang andal. Bank ragu-ragu bila kualitas datanya tidak stabil,” paparnya.
Ketiga atau terakhir, para pelaku usaha di Danau Toba belum mau menggunakan mesin EDC dan masih mengandalkan transaksi tunai.
Alasannya, para pelaku usaha tidak melihat pentingnya akses layanan nontunai bisa meningkatkan transaksi.
Belum adanya standar harga barang dan jasa pun menyebabkan pelaku usaha kerap mengambil margin tinggi dari transaksi yang dilakukan.
Kehadiran BRIlink dan Brimo
Kehadiran BRILink dan Brimo turut mendorong kesiapan para pelaku pariwisata di Danau Toba untuk transaksi non tunai.

Semakin banyak usaha BRILink bermunculan di Kawasan Danau Toba yang terdiri dari 8 kabupaten.
Bisnis ini biasa berdampingan dengan usaha kelontong. Di banyak toko maupun konter pulsa di Kawasan Danau Toba, kita dapat menemukan agen BRILink.
Belakangan adanya internet banking yakni BRI mobile banking (Brimo), memungkinkan para wisatawan maupun pelaku pariwisata untuk bertransaksi lewat bantuan perangkat telepon genggam atau HP.
Kehadiran BRImo ini juga menggeser kebiasaan nasabah yang sebelumnya bertransaksi melalui unit kerja BRI, beralih ke internet banking.
Metode transaksi non tunai lebih praktis. Transaksi pembayaran tidak dipusingkan dengan uang kembalian dan harus bawa banyak uang selama bepergian.
Penulis: Damayanti Sinaga
Editor: Damayanti Sinaga