NINNA.ID-Saya menghubungi pegiat geopark. Tujuan saya mencari informasi. Awalnya, saya ingin melakukan kajian. Kajian melalui penelitian kebudayaan. Saya merancang proposal penelitian. Ditujukan pada pemerintah yang membidangi kebudayaan. Atau mungkin swasta.
Siapa tahu, ada hubungan antara kurangnya aspek kebudayaan pada kartu kuning Danau Toba. Siapa tahu saja. Toh, kegiatan-kegiatan kebudayaan tak pernah digenjot serius. Karena itu, saya berniat melakukan kajian WBTB Mangarottas pada keasrian Danau Toba.
Saya buat judulnya cukup greget. Pengelolaan WBTB Mangarottas dalam Mempertahankan Status Danau Toba sebagai Global Geopark. Saya membuat judul itu karena relevan dengan masa kecil saya. Saya jadi saksi betapa kemenyan dulu sangat banyak.
Hutan pun sangat asri. Namun, kini getah kemenyan berkurang drastis. Belum ada penelitian objektif tentang ini. Tapi, saya punya kecurigaan. Mungkin kurang berdasar. Ada zat-zat tertentu. Polutan barangkali. Disengaja oleh oknum. Agak konspiratif.
Dibuat dengan pola sistematis. Perlahan-lahan supaya masyarakat tidak sadar. Hingga kemudian, petani kemenyan mulai mundur. Memberikan hutannya. Toh, hutannya mulai renta. Tak menghasilkan seperti dulu lagi. Terus terang, saya curiga tentang itu.
Karena itu, saya tertarik membuat kajian itu. Datanya barangkali lebih deskriptif. Diperoleh dari data dan wawancara etnografik. Hipotesis saya sederhana: WBTB Mangarottas berpengaruh positif terhadap pemertahanan status Danau Toba. Kita lihat nanti.
Nah, begitulah latar belakangnya. Hingga kemudian saya terkejut. Dari wawancara dengan pengurus geosite itu, saya mengerti lebih banyak. Ternyata masalahnya tidak melulu soal intrinsik Danau Toba. Ini masalah yang lebih buruk. Datangnya dari luar. Ekstrinsik.
Rupa-rupanya, pengurus geopark saling berebut. Nama mereka suci: geopark. Rupanya, masalah mereka belum tuntas. Ada egoisme di tingkat paling puncak. Menjalar hingga ke bawah. Masalah administratif menjadi masalah substantif. Mereka jadi racun. Racun dari dalam.
Maka jadilah keruwetan dan kisruh itu. Judulnya geopark. Padahal, isinya egopark. Persetan sih dengan status geopark. Untuk apa status itu jikalau hanya berdampak pada golongan tertentu. Jatuh-jatuhya jadi egopark. Masyarakat tersisihkan. Budaya terabaikan.
Danau Toba terancam. Secara holistik. Dari konsep geo, bio, terutama culturediversity. Kartu kuning sudah diberikan. Segeralah jadi kartu merah. Tinggal menunggu waktu. Geopark sudah menjadi egopark. Persis seperti baju Thompson Hs.
Ia mencetak baju itu untuk perlawanan simbol. Tapi, pegiat geopark, maksud saya, egopark mana peduli. Mereka tak tahu simbol. Mereka tak tahu tanda. Mereka tak belajar semiotika. Maka, mari berdoa. Tak usah muluk-muluk: semoga ego betul menjadi geo. Amin.
Penulis: Riduan Situmorang
Editor : Damayanti Sinaga