NINNA.ID – Saya kembali ke Jakarta pada 1 November 2021 kemarin. Ini untuk urusan profesionalisme. Kebetulan, saya menjadi salah satu pemateri pada Semiloka dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diselenggarakan Kemendikbudristek melalui satu badannya: Badan Bahasa. Selalu ada yang unik kalau saya datang kembali ke Jakarta.
Entah kenapa, saya orang yang susah menyesuaikan logat. Tepatnya, merasa risih saja jika harus mengubah logat.
Setiap kali saya meniru logat mereka saya seperti berkata: “ini emang kamu? Kamu tak malu emang kalau bukan jadi dirimu?” Maka, meski pernah hampir setahun kerja di Jakarta, logat saya tak pernah berubah. Sampai sekarang.
Siswa bimbel saya lantas sering meledek: “Kak Batak“. Di Jakarta, sepertinya memang selalu dipanggil kakak, bukan Abang. Tetapi, saya akui, ledekan mereka bukan sebuah ejekan. Ini seperti justru keunikan itu sendiri. Kita harus tetap jadi kita di mana pun berada. Begitu saya berkomitmen. Toh, bahasa yang saya sampaikan tidak menghina, apalagi melukai mereka.
Orang mungkin akan berkata: malu dong! Tetapi, hidup ini hidup kita. Jika selalu mendengar orang bahwa kita harus menyesuaikan diri, mengapa tidak dibalik: mereka juga menyesuaikan diri? Datang ke Jakarta tak berarti kita harus menjadi orang Betawi, orang Jawa, orang Sunda. Kita tetap orang Indonesia, tepatnya Batak.
Saya sudah di Silangit. Sebentar menunggu, saya akhirnya berangkat. Namanya Silangit. Bandara ini sudah termasuk besar dalam ukurannya yang belum terlalu ramai. Terbang dari Silangit kadang beruntung. Jika langit bersih, hamparan danau akan terlihat teduh. Pada penerbangan kali ini, saya kurang beruntung. Danau tertutup awan. Cuaca kurang bersahabat.
Setiba di Jakarta, manusia tumpah di jalanan. Keluar dari mulut bandara, seperti biasa mereka menawarkan jasa transportasi. Cara hidup di sini tak lagi agraris. Tanah sesubur Jakarta menjadi industrialis. Semua mengandalkan mesin. Maka itu, asap dan polusi menjadi bonus yang harus diterima.
Saya lihat di gawai pada sebuah pagi: “suhu 32 derajat, terasa seperti 37 derajat”. Ukuran suhu dan perasaan ternyata sudah diperhatikan gawai. Saya sebelumnya tak pernah memperhatikannya. Saya kurang peduli dengan catatan gawai. Baru kali ini saya sadar bahwa gawai menyediakan fitur yang berbeda.
Mobil jemputan tiba. Ia panggil saya dengan mas. Di kesempatan lain: pak. “Orang Makassar, ya, Pak?”, tanyanya. Saya bilang: tidak. Saya orang Batak. Kendaraan tiba-tiba dipelankan. Dipinggirkan. Lalu, berhenti. “Maju ke depan, tulang,” pintanya.
Saya maju ke depan. Mobil kembali melaju. “Saya juga orang Medan, Lae,” kali ini ia memanggil saya lae.
“Marga apa?” tanyaku.
“Aku marga siregar. Kalau Lae?”
“Aku Situmorang. Berarti bukan lae. Bapak itu udaku atau appara.”
“Betul, betul, betul, Abang,” katanya. Tambah lagi panggilan saya: Abang.
Sejujurnya aku terkejut. Di aplikasi, ia tak bermarga.
“Aku dari Selatan. Tapi, namanya Batak darimana pun akan selalu Batak. Kita duluan Batak sebelum agama. Jadi aku, apa pun agamanya, kalau Batak, siapa pun itu, kuanggap keluarga. Agama itu urusan keselamatan jiwa. Suku itu urusan keluarga. Jadi, Batak, ya, Batak. Batak bukan Kristen. Saya kesal kalau dibilang Batak Kristen. Jadi, apa aku bukan Batak karena aku Muslim?”
Tentu saja kalimat di atas sudah saya rapikan. Kita tahulah, bahasa di pasar kadang berantakan strukturnya. Tetapi, pada intinya, saya menyampaikan substansinya. Bapak bermarga Siregar itu banyak bercerita. Kami sangat akrab. Seperti saudara lama yang jarang bertemu.
Kini, saya sudah tiba di depan lobi Hotel Mercure, Ancol. Tak terasa, Jakarta yang macet bisa dilewati tanpa merasa suntuk dan sumpek. Kurang lebih tiga hari saya di sini. Mereka semua sudah tahu bahwa saya dari Medan. Tetapi, saya harus memberi penjelasan. Sumatera Utara bukan Medan saja. Daerah lain, terutama Toba harus keluar dari selalu identifikasi Medan.
“Medan dan Doloksanggul itu jaraknya hampir 10 jam. Sumatera Utara tidak hanya Medan,” begitu saya menjelaskan. Saya memang selalu begitu. Cukup sering saya menang entah apa. Tetapi, saya selalu membuat nama dengan tegas: Doloksanggul atau Humbang Hasundutan, bukan Medan. Tidak bisa lagi lebih lama kita menyebut bahwa Danau Toba adalah Medan. Saatnya kita mengenalkan bahwa Danau Toba, ya, Danau Toba.
Kembali saya teringat pada uda marga Siregar itu. Saya salut padanya. Salut sekali. Sangat sedikit saat ini orang yang bangga akan tubuhnya. Kita sering lebih bangga pada jiwa. Maka, sering atas nama jiwa, kita lupa tubuh. Maksud saya, atas nama agama (jiwa), kita lupa genealogis atau partubuon (tubuh).
Satu pelajaran yang menarik bagi saya hari ini bahwa di Jakarta ternyata masih banyak orang yang merasa sangat Batak. Di sepanjang jalan dengan Uda marga Siregar itu kami berbahasa Batak. Logatnya pun kembali menjadi Batak beraroma Selatan. Semoga saja tidak hanya Uda marga Siregar itu yang demikian.
“Molo mulak, telepon au da, Bang. Molo ongkos do, Unang mabiarho,” katanya. Saya tersenyum. Ketika hendak masuk ke hotel, ia kembali memanggilku dan berteriak: “semoga nanti bisa menjadi menteri pendidikan, ya!”. Saya tertawa terbahak-bahak. Itu bukan bagian dari mimpiku. Terlalu jauh untuk saya imajinasikan.
Terima kasih Uda marga Siregar. Tetaplah bangga menjadi Batak sekalipun berbeda kepercayaan…
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang